BUDAYA PATRIARKI, FEMINISME DAN EKOFEMINISME
Akhmad Hasan Saleh
Rancangan UU pornografi
membuat aktivis feminisme berteriak keras, karena UU pornografi telah dianggap
sebagai bentuk legitimasi dan penyuburan budaya patriarki. Masyarakat
yang menganut budaya patriarki memposisikan perempuan sebagai seorang yang
lemah dan tidak berdaya dan laki-laki lebih mendominasi dalam segala lini
aktivitas humanistis. secara ontology “Patriarchy (from Greek: Patria
meaning father and arche’ meaning rule) is the anthropological term used to
define the sociological condition where
male members of a society tend to predominate in position of power; with the
more powerful the position, the more likely it
is that a male will hold that position”[1]
Dalam sejarah patriarki bahwa perbedaan biologis laki-laki dan perempuan
sebagai pemicu pembentukan budaya patriarki, sehingga keduanya tidak setara.
Dalam pandangan patriarki jahat (evil patriarki) bahwa perempuan lebih
di anggap manusia yang lemah (inferior). Sejak awal telah membentuk
peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki adalah manusia paling kuat (superior)
dan perempuan dianggap berada dalam penjara keluarga, masyarakat dan Negara,
karena tidak adanya kebebasan berfikir dan bergerak.
Hélène Cixous menyebut sejarah filsafat sebagai suatu “rantai
ayah-ayah.” Perempuan, seperti
halnya penderitaan, selalu absen dari hal tersebut, dan tentunya (mereka:
penderitaan dan perempuan) adalah saudara dekat.
Seperti Camille
Paglia, seorang pemikir anti-feminis, ketika ia merenungi peradaban dan
perempuan:
“Ketika Aku melihat seekor burung bangau
besar melewati sebuah truk panjang, sejenak Aku terdiam dan tertunduk, seperti
yang akan dilakukan orang-orang ketika sedang berada dalam ibadah gereja.
Konsepsi kekuatan macam apa: kebesaran macam apa: yang dihubungkan oleh
bangau-bangau ini dengan peradaban Mesir kuno, ketika arsitektur monumental
pertama kali dibayangkan dan dicapai. Apabila peradaban diserahkan ke tangan
perempuan, mestilah kita masih tinggal di dalam gubuk-gubuk jerami.”[2]
Penolakan para feminis pada sistem
patriaki telah mewarnai gerakannya. Feminisme terlahir atas antitesis terhadap
fenomena patriarki yang sulit dihapuskan karena merupakan sistem yang kultur
turun temurun. Reaksi feminisme dalam meruntuhkan struktur patriarki dilakukan
dengan dua pola[3] yaitu melakukan transformasi social
dengan perubahan eksternal yang revolusioner. Dalam kelompok ini perempuan
memaksakan dirinya untuk masuk ke dalam dunia laki-laki dengan harapan kedudukan
dan statusnya sama dengan laki-laki. Untuk itu mereka mengadopsi kualitas
maskulin, agar mampu berkompetisi dengan laki-laki. Filsafat Eksistensialisme
telah diaplikasikan untuk membenarkan premis bahwa tidak ada perbedaan fitrah
antara laki-laki dan perempuan, dimana stereotip gender yang ada selama ini
adalah konstruksi sosial budaya. Sehingga yang banyak disosialisasikan karakter
wanita yang kelaki-lakian. Secara teoritis telah banyak dikembangkan dalam
feminisme modern[4]
(feminisme liberal, Marxis, sosialis dan radikal).
Fenomena feminisme modern[5]
telah memunculkan ekofiminisme sebagai jawaban dari permasalahan yang dihadapi
kaum feminisme. Ekofeminisme salah satu cabang feminis gelombang ketiga yang
mencoba menjelaskan keterkaitan alam dan perempuan terutama yang menjadi titik
fokusnya adalah kerusakan alam yang mempunyai keterkaitan langsung dengan
penindasan perempuan. Dalam Ekofeminisme perempuan ditempatkan sebagai “sosok
yang lain” sejajar dengan sosok yang lainnya yang diabaikan dalam patriarkhi
seperti kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin dan alam[6].
Budaya Patriarki menyebabkan adanya dominasi terhadap perempuan, kelompok ras
berwarna, anak-anak, kelompok miskin dan alam, dan menempatkan mereka sebagai
subordinate dibawah laki-laki yang mempunyai sifat yang unggul, netral,
pengelola “sah” bumi dan seisinya.
Dalam menggali keterkaitan
antara penindasan “sosok yang lain” (perempuan, kelompok ras berwarna,
anak-anak, kelompok miskin), kerusakan alam dan dominasi patriarkhi,
ekofeminisme menggunakan pendekatan analisis gender dan lebih memfokuskan
keterkaitan ini pada penindasan perempuan, kerusakan alam serta dominasi
patriarki sebagai penyebabnya. Hal tersebut disebabkan Pertama,
Ekofeminis melihat yang paling dirugikan dari kerusakan alam adalah perempuan.
Kedua, Peranan gender perempuan (sebagai pengatur dari economi domestik)
bertindihan (overlap) dengan permasalahan kerusakan alam dan lingkungan.
Ketiga, beberapa ideologi barat berisikan konsep-konsep pendominasian alam oleh
gender laki-laki[7].
Teori-teori feminisme modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk
otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan
hidupnya sendiri. Sedangakn teori ekofeminisme adalah teori yang melihat
individu secara komprehensif, yaitu sebagai makhluk yan terikat dan
berinteraksi dengan lingkungannya.
Ekofeminsme mempunyai manifesto yang disebut A Declaration of
Independence, yang isinya adalah sebagai berikut:
“When in
the cource human events, it become necessary to create a new bond among people
of earth, connecting each to the other, undertaking equal responsibilies under
the lows of nature, a decent respect for the welfare of humankind and all life on
earth requires us to Declare our independence….that humankind has not woven the
web of life; we are but one thread within it. Whatever we do to the web, we do to ourselves”[8]
[2] Ratna
Megawangi, Ph.D, dkk, Memboncang Feminisme, Surabaya, Risalah Gusti,
2008, hlm 210
[3] Ratna
Megawangi, Ph.D, dkk, Memboncang Feminisme, Surabaya, Risalah Gusti,
2008, hlm 209.s
[4]
Feminisme dengan segala macam teorinya mendapatkan momentumnya di Barat pada
kurun waktu 1960-an sampai 1970-an, dipengaruhi oleh paham materialisme yang
menganggap sikap dasar manusia adalah semata-mata untuk memenuhi kepentingan
pribadinya (konsep Hobbesian, homo homini lupus). Karenanya kehiupan perempuan masa itu diwarai
dengan pola relasi dominasi, penindasan, dan konflik kepentingan yang
berkepanjangan. Karl Marx mengatakan bahwa basis kehidupan masyarakat
berdasarkan pola relasi material dan ekonomi yang selalu menimbulkan konflik. Fiendrich
Engels dalam bukunya Origins of the Family, Private Property, and the State (1884)
yang menyatakan bahwa suami adalah cerminan dari kaum borjuis, dan istri
sebagai kaum proletar yang tertindas. “……the wife became the head servant,
excluded from all participation in social production.” Dan dalam halaman
yang lain dikatakan pula, “The individual family is founded on the open or
concealed domestic slavery of the wife….”, lihat ibid. hlm 223.
[5] Pada
tahun 1980-an terjadi banyak kritikan dalam diskusi-diskusi yang terfokus pada
feminine yang cenderung menerima perbedaan perempuan dan laki-laki. Mereka mulai percaya bahwa perbedaan
gender bukan semata-mata konstruksi social budaya tetapi juga instrinsic.
Teori-teori feminisme modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom
yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya
sendiri. Dari berbagai banyak pengalaman Barat dalam sosialisasi perempuan
muncul feminisme Marxisme, sosialis dan radikal yang menyatakan bahwa sikap
feminin pada perempuan diakibatkan oleh adanya sosialisasi, bukan karena
fitrah. Sehingga kaum feminis menginginkan para perempuan mengadopsi kualitas
maskulin dengan cara “mendewi-tololkan” perempuan yang berperan sebagai ibu. Lihat
ibid, hlm. 214.
[6] Nature
is Feminist Isu. Hal.1
[7] ibid
hal.2
[8] “A
Declaration of Independence”,
Ecofeminist Newslatter 1, no. 1 (Sring 1990): p.7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar