REORIENTASI KEPEMIMPINAN
Oleh. Akh. Hasan Saleh
Dalam berbagai literatur, “kepemimpinan” dimaknai sebagai
bentuk kemampuan menggarap orang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan
oleh seorang pemimpin. Misalkan Munson dalam bukunya The Management of Man yang disadur oleh Pamudji (1989:11) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan
menangani atau menggarap orang-orang sedemikian rupa untuk mencapai hasil yang
sebesar-besarnya dengan sekecil mungkin pergesekan dan sebesar mungkin
kerjasama. Allport mengatakan "Leadership
means direct face to face contact between leader and followers; it's personal
social control (kepemimpinan berarti mengarahkan kontak tatap muka antara
pemimpin dan pengikut-pengikut; ini adalah pengendalian atau pengontrolan
pribadi sosial). Sedangkan Bundell dalam Pamudji (1989:12), mengatakan sebagai
seni mendorong atau mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang
dikehendaki seorang pemimpin untuk dikerjakannya.
Dari definisi diatas menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak
ada bedanya dengan penindasan, namun dikemas dalam bentuk kata-kata yang indah.
Sehingga wajar, ketika banyak pemimpin memiliki orentasi yang salah dalam
mencapai tujuan, terutama dalam merebut kursi (kedudukan). Sehingga cara yang
digunakan untuk goal-striving dilakukan dengan berbagai cara. Karena kekuasaan
saat ini bukanlah kesejahteraan, kedamaian, keadilan yang menjadi main
purpose, tapi kehormatan, pangkat/jabatan, harta bahkan penguasaan terhadap
hak-hak individu seseorang. Sehingga kepemimpinan menjadikan dirinya bertindak sebagai
Tuhan (mengambil alih hak Tuhan).
Orientasi kepemimpinan yang berubah memberikan gambaran
pada diri kita dan orang lain bahwa framework yang dimiliki selama ini sebagai
muslim telah ada kekeliruan. Karena bisa jadi kesalahpahaman tersebut
disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap konsep islam dalam memandang
kepemimpinan. Atau teracuninya pemikiran umat muslim oleh pemikiran-pemikiran
Barat (orientalis).
Orintalisme dalam memaknai pemikiran kepemimpinan
khususnya dalam memahami kisah Yusuf dalam meminta posisi bagi dirinya sendiri
telah didistorsi secara nyata.
Dalam surat Yusuf (11):54-56 yang intisarinya adalah Nabi
Yusuf diberi kekuasaan (orang terpercaya) oleh Al Aziz (raja) bukan meminta
kekuasaan pada Al Aziz, karena pada ayat 54 dinyatakan “Dan raja berkata: "Bawalah Yusuf
kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku." Maka
tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya
kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai
pada sisi kami.". Karena nabi Yusuf tahu kemampuan dirinya (keimanan,
ketaqwaannya tidak diragukan pada Allah), maka Berkata Yusuf: "Jadikanlah
aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai
menjaga, lagi berpengetahuan."(ayat 55).
Tidak benar jika suatu
kekuasaan harus diminta dengan membanggakan dirinya, penuh dengan janji pada
umat, sedangkan dirinya tidak menunjukkan sikap hidup yang bisa dicontoh oleh
umat, misalkan dalam memimpin rumah tangga, ia belum bisa menjadi pemimpin yang
baik bagi keluarganya dengan membiarkan anggota keluarga tidak menjalankan
sholat lima waktu, tidak menutup aurat, memberikan nafkah yang tidak sesuai
dengan syariat dan sebagainya. Dari lingkungan kecil inilah sesungguhnya akan
mampu melihat kepribadian diri dan harusnya mampu menjadi bahan intropeksi diri
(self assesment) sebelum dirinya dipilih umat untuk menjadi pemimpin
yaitu melihat kemampuan diri secara jujur atas kemampuan dan keahlian dirinya
untuk menjadi ushwa (teladan) dalam masyarakat.
Kalau membaca kisah Umar
bin Khattab dalam melayani dan memperhatikan umat sungguh luar biasa. Umar bin
Khattab dalam setiap malamnya berkeliling untuk melihat kondisi umatnya dan
bahkan rela dirinya memikul beras untuk diberikan kepada seorang ibu dan anaknya
yang sedang kelaparan. Ibu itu pun tidak tahu kalau yang memberikan semalam
adalah seorang khalifah (pimpinan negara). Dan kisah Umar bin Abdul Aziz yang
mau mendengarkan nasehat dari anak kecil yang berusia belasan tahun.
Dari kisah diatas
menunjukkan bahwa seorang pemimpin harusnya mau untuk bersusah payah
(bertanggung jawab) memperhatikan dan peduli terhadap umatnya dengan turun
secara langsung untuk lebih dekat mereka dan mau mendengarkan kebaikan yang
datang dari siapapun dan darimanapun.
Ada tiga istilah sebagai landasan kepemimpinan dalam perspektif Islam.
Pertama, dalam Al-Qur’an istilah pemimpin disebut Al-Imâm (Jamaknya : A-immah).
Kata ini bersal dari amma – ya’umm – amman- wa Imâman. Artinya, pemimpin
sebagai pemegang amanat, baik dari Allah maupun dari manusia, yang harus
dipertanggungjawabkan. (Lihat QS. Al-Anfâl : 27). Kedua, pemimpin sebagai Khalîfah
(Jamaknya : Khulafâ , Khalâif). Khalifah berarti penguasa, pengganti,
wakil, atau mandataris. Juga berarti Khalfun (dari kata khalafa –
yakhlifu) yang berarti belakang, sehingga pemimpin harus bersikap “tutwuri
handayani”, mengikuti dan mendorong aspirasi umat, selain sebagai Imâm
yang harus berada di depan memberi teladan. Ketiga, pemimpin sebagai Râ-in
(penggembala). Kata ini berasal dari ra’â – yar’â –ra’yan – ri’âyatan – wa
mar’an. Ini antara lain memiliki arti “perhatian” (ri’âyatan) dan
juga berarti “tempat gembalaan” (mar’an), sehingga seorang pemimpin
harus mempunyai perhatian sampai kepada tempat dan kondisi yang dipimpinnya.
Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagi setiap manusia yang
sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahi Allah untuk
menjadi khalifah Allah (wakil Allah) di muka bumi (Q.S.al-Baqarah:30),
yang bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam
semesta. Sekaligus sebagai abdullah (hamba Allah) yang senantiasa patuh
dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah. Sabda Rasulullah “setiap kamu adalah pemimpim
dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya (responsibilitiy-nya)”.
Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifal fil
ardli menempati posisi senteral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila
konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinannya
hubungan atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi
amanah (Allah), yaitu: (1) mengerjakan semua perintah Allah, (2) menjauhi semua
larangan-Nya, (3) ridha [ikhlas] menerima semua hukum-hukum atau
ketentuan-Nya. Selain hubungan dengan pemberi amanah (Allah), juga membangun
hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan yang diamanahkan kepadanya
(Q.S.Ali Imran:112). Tuntutannya, diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur
hubungan vertical manusia dengan Sang Pemberi (Allah) amanah dan interaksi
horizontal dengan sesamanya.
Jika kita memperhatikan teori-teori tentang fungsi dan peran seorang
pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat,
maka kita akan hanya menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai sebuah
konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan mempengaruhi,
mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata. Konsep Islam,
kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, kegiatan
mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal maupun vertikal. Kemudian, dalam teori-teori
manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan (planning
and decision maker), pengorganisasian
(organization), kepemimpinan dan motivasi (leading and
motivation), pengawasan (controlling) dan lain-lain (Aunur Rahim,
dk., 2001:3-4).
Ada beberapa dasar kepemimpinan dalam Islam yang harus dijadikan landasan
dalam berorganisasi (Quraish Shihab, 2000), di antaranya ialah :
1. Tidak mengambil orang
kafir, tidak beriman sebagai pemimpin (QS.An-Nisaa: 144).
2. Tidak mengangkat
pemimpin dari orang-orang yang mempermainkan Agama Islam, sebagaimana firman
Allah dalam Surat Al-Maidah: 57;
3. Pemimpin harus mempunyai
keahlian, selektif dan mendukung terhadap kebaikan yang sesuai syariat.
4. Pemimpin harus bisa
diterima (acceptable), mencintai dan dicintai umatnya, mendoakan dan
didoakan oleh umatnya.
Dari dasar kepemimpinan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa seorang
pemimpin harus memiliki karakter yang khas, yang disingkat dengan SIFAT yaitu:
1. Siddiq (Honest): Jujur
2. Istiqomah (Consistent): konsisten
3. Fatonah (Smart): cerdas menanggulangi persoalan
danintropeksi bila muncul permasalahan
4. Amanah (Responsible): tanggung jawab
5. Tabligh (Comunicative): menyampaikan kebenaran dan
terbuka.
Karakter SIFAT merupakan sintesis
Rasulullah terhadap Al Quran sebagai mu’jizat terbesar dalam kehidupan. SIFAT
ini adalah karakter Rasulullah dalam memimpin umat dan dijadikan tauladan oleh
pemimpin setelahnya (kalifah) dan ternyata sikap yang terbentuk dengan memegang
teguh karakter dasar mampu mempengaruhi orang lain dan menarik simpati manusia.
Dan terbukti sangat efektif dan efisien dalam mencapai tujuan dunia dan
akhirat.
Daftar Pustaka:
Al Qur’an dan
Hadist
Louis Ma’luf,
Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-‘Alaam, Daar el-Masyriq, Beirut, 1986, sh. 818.
Komaki, Judith, “Toward
Effective Supervision : An Operant Analysis and Comparison of Managers at
Work”, Journal of Applaid Psychology, 1986
Shihab, Muhammad Quraish. (2000). Wawasan Al-Qur'an, Bandung: Mizan.
Alamat Redaksi :
Vila bukit tidar A4/292 Malang
Telp. 081 233 272 930 (Hasan)
Atau
ICON Forum Malang
Jl. Titan Asri 31 Malang (Reza)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar