Rabu, 13 November 2013

TRAGEDI PERANG MU'TAH



TRAGEDI PERANG TERBESAR DAN TERHEBAT DALAM ISLAM
(PERANG MU’TAH)
Oleh. Akhmad Hasan Saleh

A.  LATAR BELAKANG
Sejak terjadinya peperangan Islam melawan orang-orang kafir karena penolakannya terhadap Islam, perang ini yang merupakan perang terbesar yang dihadapi umat Islam (pasukan Rasulullah)pertama kali dan paling menegangkan. Perang ini pula yang menjadi pembuka jalan dalam menaklukkan negeri-negeri Nasrani. Perang mu’tah terjadi pada bulan Jumadal Ula 8 H (Agustus/September 629 M) di daerah dusun Mu’tah (dusun sebelum masuk Syam – sekarang sekitar Yordania).
Al kisah, awal mula terjadinya Perang Mu’tah ketika Rasulullah mengutus seorang sahabat bernama Al Harits bin Umair untuk mengantarkan surat kepada pemimpin Busra dalam rangka mengajak kepada jalan Allah (masuk Islam). Namun dalam perjalanan Harits dihadang oleh Syurahbil bin ‘Amr al Ghassani, pemimpin Al Baqa’ dibawah kekuasaan bangsa Romawi di Syam. Kemudian Syurahbil mengikat Harits dan membawanya kehadapan kaisar Romawi Heraclius, lalu ia memenggal lehernya. Sebelumnya, tidak pernah seorang utusan dari Rasulullah dibunuh dalam misinya.
Dalam sejarah, jika seseorang membunuh utusan merupakan kejahatan keji, sama dengan mengajak perang. Rasulullah mendengar kematian Harits yang membuat beliau murka. Tidak heran jika kemudian Rasulullah mengumpulkan pasukan Muslim sebanyak 3000 pasukan untuk melakukan penyerangan, namun sebelumnya Rasulullah belum pernah mengumpulkan sebanyak itu. Karena Rasulullah sadar bahwa melawan penguasa Bushra adalah juga melawan pasukan Romawi yang pada masa itu adalah pasukan terbesar dan terkuat di muka bumi.
B.  PARA KOMANDAN PASUKAN MUSLIM
Pada saat persiapan pemberangkatan pasukan perang, Rasulullah bersabda sekaligus menunjuk tiga orang sahabat untuk menjadi komandan perang . pada saat itu Rasulullah tidak ikut berangkat mengiringi pasukan perang, namun beliau berpesan pada mereka bahwa :
“Yang bertindak sebagai Amir (panglima perang) adalah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid gugur, Ja’far bin Abu Thalib penggantinya. Bila Ja'far gugur, Abdullah bin Rawahah penggantinya. Dan jika Abdullah bin Rawahah gugur, maka hendaklah kaum muslimin memilih penggantinya.” Kemudian Rasulullah menyerahkan bendera berwarna putih kepada Zaid bin Haritsah.
Beliau juga berpesan agar mereka mendatangi tempat terbunuhnya al Harits bin Umair, dan mengajak penduduk disana untuk masuk Islam. Jika tidak mau, maka harus memohon pertolongan Allah untuk memerangi mereka.
Kemudian Rasulullah memanggil para komandan perang dan mengucapkan selamat tiggal pada mereka. Namun sebelum meninggalkan Madinah, salah satu komandan, Abdullah bin Rawahah menangis tersedu-sedu. Para sahabat bertanya,”Apa yang menyebabkan Anda menangis?”. Abdullah menjawab, ”Demi Allah aku  menangis bukan karena cinta dunia dan rindu kepada kalian. Tapi aku pernah mendengar  Rasulullah membaca sebuah ayat dari kitab Allah, yang didalamnya disebutkan, ‘Dan tidak ada seorang pun di antara kalian, melainkan mendatangi neraka itu. Hal ini bagi Rabbmu adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan’. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku setelah aku meninggal nanti?”. Kemudian mereka berangkat, Rasulullah dan kaum muslimin yang tidak menyertai mendoakan pasukan agar Allah menyertai pasukan muslimin dan melindungi mereka serta dapat kembali dalam keadaan baik dan membawa kemenangan. Dan Abdullah bin Rawahah dalam perjalanan mlantunkan sebuah syair penyemangat bagi pasukan muslim.
Setelah pasukan muslim bergerak jauh dari madinah, mereka mendengar informasi bahwa pasukan musuh berjumlah jauh lebih banyak dari pasukan muslim. Heraclius mengarahkan pasukannnya sebanyak 100.000 tentara Romawi sedangkan Syuhrabil bin ‘Amr mengerahkan pasukan sebanyak 100.000 pasukan pula, sehingga total pasukan musuh berjumlah 200.000. Wajar pada saat itu, pasukan muslim sempat gentar dan berhenti selama dua hari di daerah Mu’an guna merundingkan apa yang harus dilakukan, melihat ketidaksepadanan pasukan muslim dengan pasukan musuh. Melihat kebingungan dan rasa gentar sahabat, tidak menyetujui perbincangan dalam musyawarah yang dilakukan oleh pasukan muslim yang berharap pengiriman bantuan kepada Rasulullah, kembali Abdullah bin Rawahah mengobarkan semangat pasukan dengan ucapan,
“Hai saudara-saudara, kenapa kalian tidak menyukai mati syahid, yang menjadi tujuan kita berangkat ke medan perang ini! Kita berperang tidak mengandalkan banyaknya jumlah pasukan atau besarnya kekuatan, tetapi semata-mata berdasarkan agama yang dikaruniakan Allah kepada kita. Karena itu marilah kita maju! Tidak ada pilihan lain kecuali salah satu dari dua kebajikan: menang atau mati syahid”.
Setelah dua hari melakukan musyawarah, pasukan muslim bergerak mendekati pasukan Romawi yang berada di dusun daerah Al Baqa’ yang bernama Masyarif. Dua pasukan semakin dekat, kemudian pasuka muslim berbelok ke arah Mu’tah. Dari segi jumlah dan perlengkapan persenjataan pasukan Romamawi jauh lebih lengkap dan kuat dari pasukan muslim yang jumlahnya sedikit dan perlengkapan perang yang sederhana dan tidak besar.
Pertama kali yang memegang bendera adalah Zaid bin Haritsah, kekasih Rasulullah. Dalam peperangan tersebut Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid, ia turun dari kudanya melesat ketengah pasukan musuh dengan gagah beraninya, ia terhunus pedang pasukan Romawi hingga terpotong menjadi dua. Ditubunya terdapat lima puluh tusukan semuanya dibagian depan.
Kemudian bendera diambil alih oleh Ja’far bin Abu Thalib, ia pun bergerak cepat dalam peperangan yang sengit dan tidak seimbang itu. Hingga ia terjatuh dari kudanya, karena kuda tungganganya terkena panah. Ia pun terus bertempur sampai tangan kanannya putus terkena pedang lawan, ia pun tanpa menyerah dan mengeluh kesakitan tetap maju dan menghunus beberapa musuh dengan memegang bendera ditangan kanan, hingga tangan kananpun putus. Kemudian masih dengan semangatnya ia maju dengan membawa bendera yang dililitkan dipundak dan lengan kanannya yang masih tersisa. Dengan semangat jihad itulah ia pun terhunus dengan luka sebanyak lima puluh sabetan semuanya bagian depan dan tubuhnya terpotong dua sebagaimana Zaid. Dalam beberapa riwayat menyatakan bahwa Ja’far bin Abu Thalib oleh Allah di beri dua sayap disyurga, sehingga ia di juluki Ath-Thayyar (penerbang) atau Dzul Janaihan (yang memiliki dua sayap).
Setelah syahidnya Ja’far, Abdullah bin Rawahah mengambil alih bendera Islam. Dengan gagahnya pula ia gugur sebagaimana sahabt-sahabatnya.
C.  BENDERA DITANGAN PEDANG ALLAH
Pada saat komandan perang pilihan Rasullah yang terakhir – Abdullah bin Rawahah wafat, kemudian ada seorang Bani Ajlan yang bernama Tsabit bin Arqam maju kedepan dan mengambil bendera. Dia berkata, “Wahai kaum Muslimi, angkatlah seseorang di antara kalian !”, seorang pasukan berkata, “Engkau saja.” Tsabit mengatakan kalau dirinya tidak sanggup. Kemudian sebagian pasukan menunjuk Khalid bin Walid.
Berita wafatnya tiga komandan perang terpilih sampai kepada Rasulullah dan sebelum berita tersebut sampai pada kaum muslim di Madinah, Rasulullah bersabda,
“Zaid bin Haritsah mengambil bendera, lalu ia gugur. Kemudian Ja’far bin Abu Thalib yang mengambilnyan dan dia pun gugur. Kemudian Abdullah bin Rawahah yang mengambilnya dan dia pun gugur.” Kemudian Beliau meneteskan air mata, lalu bersabda,”Hingga salah satu dari pedang-pedang Allah mengambil bendera itu dan akhirnya Allah memberikan kemenangan kepada mereka”.
Perlu dicatat bahwa perang ini merupakan peperangan pertama kali yang diikuti Khalid bin Walid dalam barisan kaum muslimin, sebeb belum lama ia menyatakan keislamannya.
Maka setelah penunjukan itu, Khalid merubah strategi perang dan merubah posisi pasukan. Menurut ibn Katsir bahwa Khalid mengatur strategi dengan membawa mundur pasukan muslim dan bertahan. Kemudian kesesokan harinya Khalid mulai mengubah posisi pasukan; yang tadinya disayap kanan dipindahkan ke sayap kiri dan sebaliknya; sedangkan pasukan belakang menjadi pasukan depan dan sebaliknya pula. Hal dilakukan Khalid dalam rangka memberikan kesan kepada musuh, bahwa kaum muslimin mendapatkan bala bantuan. Kemudian Khalid bersama pasukan muslim menyerang pasukan Romawi dan berhasil memukul mundur, tetapi Khalid dan pasukannya tidak mengejar mereka. Sehingga pasukan Khalid kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan yang telah Allah janjikan kepada pasukan muslim. Dalam peperangan tersebut ada sembilan bilah pedang patah ditangan Khalid bin Walid, kecuali sebilah pedang kecil dari Yaman.
Beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa jumlah korban yang gugur dalam peperangan mu’tah dari pihak muslimin ada dua belas orang. Sedangkan dari pihak pasukan Romawi tidak bisa diketahui. Namun dengan melihat rincian sejarah sampai pasukan muslim bisa kembali ke Madinah menunjukkan bahwa korban dari pihak musuh tentunya tidak terhitung.
Berita kemenangan pasukan muslim terhadap pasukan Romawi di dengar seluruh kabilah di Jazirah Arab, sehingga mendapatkan decak kagum mereka pada pasukan muslim. Karena itu beberapa kabilah yang sebelumnya menyerang dan memusuhi kaum muslimin, merasa simpati terhadap Islam setelah perang Mu’tah. Bahkan Bani Sulaim, Asyja’, Ghathafan, Fazarah dan lainnya menyatakan masuk Islam.
D.   IBRAH  (PELAJARAN)
Peperangan Mu’tah telah memberikan banyak pelajran bagi musuh Islam dan sekaligus bagi kaum muslimin pada masa itu dan setelahnya. Salah satu ibrah yang dapat dipetik adalah:
1.      Bahwa khalifah boleh mengangkat seorang Amir dengan suatu syarat atau beberapa Amir bagi kuslimin secara berurutan.
2.      Disyari’atkannya ijtihad kaum muslimin dalam memilih Amir mereka, apabila Amir mereka tidak ada (wafat).
3.      Bahwa kasih sayang Rasulullah begitu dalam terhadap kaum muslimin, terbukti dengan menetesnya air mata Rasulullah ketika mengetahui wafatnya para komandan terpilih, walau jarak Beliau (Madinah) dengan medan perang sangat jauh.
4.      Ada keutamaan khusus bagi Khalid bin Walid atas keberaniannya, sehingga mendapat sebutan “pedang Allah”.
Literatur:
Syaikh Shafiyyur Rahman Al Mubarakfury, 1999, Sirah Nabawiyah, Pustaka Kautsar, Jakarta.
Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, 1999, Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, Rabbani Press, Jakarta.
M. Abdul Karim, 2011, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Bagaskara, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar