TRAGEDI PERANG TERBESAR DAN
TERHEBAT DALAM ISLAM
(PERANG MU’TAH)
Oleh. Akhmad
Hasan Saleh
A. LATAR BELAKANG
Sejak terjadinya
peperangan Islam melawan orang-orang kafir karena penolakannya terhadap Islam,
perang ini yang merupakan perang terbesar yang dihadapi umat Islam (pasukan
Rasulullah)pertama kali dan paling menegangkan. Perang ini pula yang menjadi
pembuka jalan dalam menaklukkan negeri-negeri Nasrani. Perang mu’tah terjadi
pada bulan Jumadal Ula 8 H (Agustus/September 629 M) di daerah dusun Mu’tah
(dusun sebelum masuk Syam – sekarang sekitar Yordania).
Al kisah, awal mula
terjadinya Perang Mu’tah ketika Rasulullah mengutus seorang sahabat bernama Al
Harits bin Umair untuk mengantarkan surat kepada pemimpin Busra dalam rangka
mengajak kepada jalan Allah (masuk Islam). Namun dalam perjalanan Harits
dihadang oleh Syurahbil bin ‘Amr al Ghassani, pemimpin Al Baqa’ dibawah
kekuasaan bangsa Romawi di Syam. Kemudian Syurahbil mengikat Harits dan
membawanya kehadapan kaisar Romawi Heraclius, lalu ia memenggal lehernya.
Sebelumnya, tidak pernah seorang utusan dari Rasulullah dibunuh dalam misinya.
Dalam sejarah, jika seseorang
membunuh utusan merupakan kejahatan keji, sama dengan mengajak perang.
Rasulullah mendengar kematian Harits yang membuat beliau murka. Tidak heran
jika kemudian Rasulullah mengumpulkan pasukan Muslim sebanyak 3000 pasukan
untuk melakukan penyerangan, namun sebelumnya Rasulullah belum pernah
mengumpulkan sebanyak itu. Karena Rasulullah sadar bahwa melawan penguasa
Bushra adalah juga melawan pasukan Romawi yang pada masa itu adalah pasukan
terbesar dan terkuat di muka bumi.
B. PARA KOMANDAN PASUKAN MUSLIM
Pada saat persiapan
pemberangkatan pasukan perang, Rasulullah bersabda sekaligus menunjuk tiga
orang sahabat untuk menjadi komandan perang . pada saat itu Rasulullah tidak
ikut berangkat mengiringi pasukan perang, namun beliau berpesan pada mereka bahwa
:
“Yang
bertindak sebagai Amir (panglima perang) adalah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid
gugur, Ja’far bin Abu Thalib penggantinya. Bila Ja'far gugur, Abdullah bin
Rawahah penggantinya. Dan jika Abdullah bin Rawahah gugur, maka hendaklah kaum
muslimin memilih penggantinya.”
Kemudian Rasulullah menyerahkan bendera berwarna putih kepada Zaid bin
Haritsah.
Beliau juga berpesan
agar mereka mendatangi tempat terbunuhnya al Harits bin Umair, dan mengajak
penduduk disana untuk masuk Islam. Jika tidak mau, maka harus memohon
pertolongan Allah untuk memerangi mereka.
Kemudian Rasulullah
memanggil para komandan perang dan mengucapkan selamat tiggal pada mereka.
Namun sebelum meninggalkan Madinah, salah satu komandan, Abdullah bin Rawahah
menangis tersedu-sedu. Para sahabat bertanya,”Apa yang menyebabkan Anda
menangis?”. Abdullah menjawab, ”Demi Allah aku
menangis bukan karena cinta dunia dan rindu kepada kalian. Tapi aku
pernah mendengar Rasulullah membaca
sebuah ayat dari kitab Allah, yang didalamnya disebutkan, ‘Dan tidak ada seorang pun di antara kalian, melainkan mendatangi neraka
itu. Hal ini bagi Rabbmu adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan’. Aku
tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku setelah aku meninggal nanti?”.
Kemudian mereka berangkat, Rasulullah dan kaum muslimin yang tidak menyertai
mendoakan pasukan agar Allah menyertai pasukan muslimin dan melindungi mereka
serta dapat kembali dalam keadaan baik dan membawa kemenangan. Dan Abdullah bin
Rawahah dalam perjalanan mlantunkan sebuah syair penyemangat bagi pasukan
muslim.
Setelah pasukan muslim
bergerak jauh dari madinah, mereka mendengar informasi bahwa pasukan musuh
berjumlah jauh lebih banyak dari pasukan muslim. Heraclius mengarahkan
pasukannnya sebanyak 100.000 tentara Romawi sedangkan Syuhrabil bin ‘Amr
mengerahkan pasukan sebanyak 100.000 pasukan pula, sehingga total pasukan musuh
berjumlah 200.000. Wajar pada saat itu, pasukan muslim sempat gentar dan
berhenti selama dua hari di daerah Mu’an
guna merundingkan apa yang harus dilakukan, melihat ketidaksepadanan pasukan
muslim dengan pasukan musuh. Melihat kebingungan dan rasa gentar sahabat, tidak
menyetujui perbincangan dalam musyawarah yang dilakukan oleh pasukan muslim
yang berharap pengiriman bantuan kepada Rasulullah, kembali Abdullah bin
Rawahah mengobarkan semangat pasukan dengan ucapan,
“Hai
saudara-saudara, kenapa kalian tidak menyukai mati syahid, yang menjadi tujuan
kita berangkat ke medan perang ini! Kita berperang tidak mengandalkan banyaknya
jumlah pasukan atau besarnya kekuatan, tetapi semata-mata berdasarkan agama
yang dikaruniakan Allah kepada kita. Karena itu marilah kita maju! Tidak ada
pilihan lain kecuali salah satu dari dua kebajikan: menang atau mati syahid”.
Setelah dua hari
melakukan musyawarah, pasukan muslim bergerak mendekati pasukan Romawi yang
berada di dusun daerah Al Baqa’ yang bernama Masyarif. Dua pasukan semakin
dekat, kemudian pasuka muslim berbelok ke arah Mu’tah. Dari segi jumlah dan
perlengkapan persenjataan pasukan Romamawi jauh lebih lengkap dan kuat dari
pasukan muslim yang jumlahnya sedikit dan perlengkapan perang yang sederhana
dan tidak besar.
Pertama kali yang
memegang bendera adalah Zaid bin Haritsah, kekasih Rasulullah. Dalam peperangan
tersebut Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid, ia turun dari kudanya melesat
ketengah pasukan musuh dengan gagah beraninya, ia terhunus pedang pasukan
Romawi hingga terpotong menjadi dua. Ditubunya terdapat lima puluh tusukan
semuanya dibagian depan.
Kemudian bendera diambil
alih oleh Ja’far bin Abu Thalib, ia pun bergerak cepat dalam peperangan yang
sengit dan tidak seimbang itu. Hingga ia terjatuh dari kudanya, karena kuda
tungganganya terkena panah. Ia pun terus bertempur sampai tangan kanannya putus
terkena pedang lawan, ia pun tanpa menyerah dan mengeluh kesakitan tetap maju
dan menghunus beberapa musuh dengan memegang bendera ditangan kanan, hingga
tangan kananpun putus. Kemudian masih dengan semangatnya ia maju dengan membawa
bendera yang dililitkan dipundak dan lengan kanannya yang masih tersisa. Dengan
semangat jihad itulah ia pun terhunus dengan luka sebanyak lima puluh sabetan
semuanya bagian depan dan tubuhnya terpotong dua sebagaimana Zaid. Dalam
beberapa riwayat menyatakan bahwa Ja’far bin Abu Thalib oleh Allah di beri dua
sayap disyurga, sehingga ia di juluki Ath-Thayyar
(penerbang) atau Dzul Janaihan (yang
memiliki dua sayap).
Setelah syahidnya
Ja’far, Abdullah bin Rawahah mengambil alih bendera Islam. Dengan gagahnya pula
ia gugur sebagaimana sahabt-sahabatnya.
C. BENDERA DITANGAN PEDANG ALLAH
Pada saat komandan
perang pilihan Rasullah yang terakhir – Abdullah bin Rawahah wafat, kemudian
ada seorang Bani Ajlan yang bernama Tsabit bin Arqam maju kedepan dan mengambil
bendera. Dia berkata, “Wahai kaum Muslimi, angkatlah seseorang di antara kalian
!”, seorang pasukan berkata, “Engkau saja.” Tsabit mengatakan kalau dirinya
tidak sanggup. Kemudian sebagian pasukan menunjuk Khalid bin Walid.
Berita wafatnya tiga
komandan perang terpilih sampai kepada Rasulullah dan sebelum berita tersebut
sampai pada kaum muslim di Madinah, Rasulullah bersabda,
“Zaid
bin Haritsah mengambil bendera, lalu ia gugur. Kemudian Ja’far bin Abu Thalib
yang mengambilnyan dan dia pun gugur. Kemudian Abdullah bin Rawahah yang
mengambilnya dan dia pun gugur.”
Kemudian Beliau meneteskan air mata, lalu bersabda,”Hingga salah satu dari pedang-pedang Allah mengambil bendera itu dan
akhirnya Allah memberikan kemenangan kepada mereka”.
Perlu dicatat bahwa
perang ini merupakan peperangan pertama kali yang diikuti Khalid bin Walid
dalam barisan kaum muslimin, sebeb belum lama ia menyatakan keislamannya.
Maka setelah penunjukan
itu, Khalid merubah strategi perang dan merubah posisi pasukan. Menurut ibn
Katsir bahwa Khalid mengatur strategi dengan membawa mundur pasukan muslim dan
bertahan. Kemudian kesesokan harinya Khalid mulai mengubah posisi pasukan; yang
tadinya disayap kanan dipindahkan ke sayap kiri dan sebaliknya; sedangkan pasukan
belakang menjadi pasukan depan dan sebaliknya pula. Hal dilakukan Khalid dalam
rangka memberikan kesan kepada musuh, bahwa kaum muslimin mendapatkan bala
bantuan. Kemudian Khalid bersama pasukan muslim menyerang pasukan Romawi dan
berhasil memukul mundur, tetapi Khalid dan pasukannya tidak mengejar mereka.
Sehingga pasukan Khalid kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan yang telah
Allah janjikan kepada pasukan muslim. Dalam peperangan tersebut ada sembilan
bilah pedang patah ditangan Khalid bin Walid, kecuali sebilah pedang kecil dari
Yaman.
Beberapa ahli sejarah
menyatakan bahwa jumlah korban yang gugur dalam peperangan mu’tah dari pihak
muslimin ada dua belas orang. Sedangkan dari pihak pasukan Romawi tidak bisa
diketahui. Namun dengan melihat rincian sejarah sampai pasukan muslim bisa
kembali ke Madinah menunjukkan bahwa korban dari pihak musuh tentunya tidak
terhitung.
Berita kemenangan
pasukan muslim terhadap pasukan Romawi di dengar seluruh kabilah di Jazirah
Arab, sehingga mendapatkan decak kagum mereka pada pasukan muslim. Karena itu
beberapa kabilah yang sebelumnya menyerang dan memusuhi kaum muslimin, merasa
simpati terhadap Islam setelah perang Mu’tah. Bahkan Bani Sulaim, Asyja’,
Ghathafan, Fazarah dan lainnya menyatakan masuk Islam.
D. IBRAH (PELAJARAN)
Peperangan Mu’tah telah memberikan
banyak pelajran bagi musuh Islam dan sekaligus bagi kaum muslimin pada masa itu
dan setelahnya. Salah satu ibrah yang dapat dipetik adalah:
1. Bahwa khalifah
boleh mengangkat seorang Amir dengan suatu syarat atau beberapa Amir bagi
kuslimin secara berurutan.
2. Disyari’atkannya
ijtihad kaum muslimin dalam memilih Amir mereka, apabila Amir mereka tidak ada
(wafat).
3. Bahwa kasih
sayang Rasulullah begitu dalam terhadap kaum muslimin, terbukti dengan
menetesnya air mata Rasulullah ketika mengetahui wafatnya para komandan
terpilih, walau jarak Beliau (Madinah) dengan medan perang sangat jauh.
4. Ada keutamaan
khusus bagi Khalid bin Walid atas keberaniannya, sehingga mendapat sebutan
“pedang Allah”.
Literatur:
Syaikh Shafiyyur Rahman Al
Mubarakfury, 1999, Sirah Nabawiyah,
Pustaka Kautsar, Jakarta.
Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy,
1999, Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah
Manhajiah Terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, Rabbani
Press, Jakarta.
M. Abdul Karim, 2011, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,
Bagaskara, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar