Senin, 11 November 2013

PEMUDA DAN BANGUNAN PERADABAN



PEMUDA DAN BANGUNAN PERADABAN ISLAM
                                                               (Akhmad Hasan Saleh)

A.     Makna Peradaban Islam
Perbincangan peradaban di kalangan ilmuwan muslim dan ilmuwan Barat bukan sesuatu yang tabu. Bahkan dizaman modern ini, penulis mencermati bahwa saat ini sedang terjadi sebuah perang peradaban antara Islam dan Barat. Karena yang berkembang saat ini adalah perang pemikiran (ghozwul fikr) untuk merebutkan seorang pemuda dengan segala potensi yang dimilikinya. Islam telah membuktikan dengan kejayaan yang pernah diukir dalam sebuah sejarah kehidupan dengan peradaban keilmuwan yang mampu menggetarkan musuhnya dan merubah “wajah” dunia yang semakin berpengetahuan.
Peradaban dalam bahasa Indonesia sering diidentikkan dengan kata kebudayaan. Akan tetapi dalam bahasa Inggris, terdapat perbedaan pengertian antara civilization untuk peradaban dan culture untuk kebudayaan. Demikian pula dalam bahasa Arab dibedakan antara tsaqafah (kebudayaan), hadharah (kemajuan) dan tamaddun (peradaban). Prof. Muhammad Naquib Al Attas menyebut peradaban dengan “Tamadun”, yang berasal dari kata daana (ketaatan)-diinun (agama, hukum)-dainun (hutang). Sehingga muncul kata tamadun (peradaban) yakni sebuah tempat, region, atau city yang dikelola berdasarkan (aturan-aturan) agama. Ketika din (agama) Allah yang bernama Islam telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah. Dari akar kata din dan Madinah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan. Kenapa Prof. Muhammad naquib Al Attas menggunakan kata “tamaddun”, karena memiliki kaitan dengan diberlakukannya aturan-aturan agama didalamnya.[1]

B.      Keistimewaan Pemuda
Kaum muslimin saat ini sedang dilanda degradasi dan pengkaburan keimanan. Menurut Profesor al-Attas bahwa sebab utama terjadinya keadaan buruk Kaum Muslimin dewasa ini, adalah kejahilan masyarakat Muslim itu sendiri mengenai Islam secara yang menyeluruh. Kejahilan mengenai Islam itulah yang telah melenyapkan kesadaran akan tanggungjawab individu dan kaum Muslimin terhadap amanah ilmu dan akhlak, dan seterusnya. Sehingga mengalami berbagai macam kekeliruan ilmu dan penyelewengan amal, yang kemudian mereka terus terbelenggu pada rantai penjajahan pemikiran globalisasi.
Arus pemikiran yang terus “semrawut” masuk dalam segala aspek kehidupan umat manusia, mulai dari keluarga, ekonomi, politik, budaya bahkan lembaga pendidikan yang menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan pengkaderan pemuda. Sekian banyak pemikiran muncul untuk memberikan “warna-warni” kehidupan, sehingga peradaban saat ini semakin tidak memiliki tujuan jelas dalam pembangunannya. Kontribusi ketidakjelasan pembangunan peradaban terletak pada pemuda sebagai agen of change.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa harus pemuda?. Menurut Luis A. Gomez de Souze & Lucia Ribeiro, (1976) pemuda adalah  satu golongan atau kelompok umur anggota sebuah masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tingkah laku atau budaya tertentu. Kedudukan, peranan dan penglibatan mereka adalah bergantung pada suasana, struktur serta sistem kehidupan sebuah masyarakat, sama ada yang berkaitan dengan ekonomi, tingkat kemajuan sosio-ekonomi, pendidikan, ideologi, politik, nilai-nilai sosio-budaya atau lain-lainnya.
William L. Shirer (1959) mengatakan bahwa golongan pemuda juga merupakan tenaga penting yang boleh menentukan kekuasaan seorang pemimpin atau ideologi politik dalam abad ini. Misalnya dalam konteks kebangkitan kekuasaan Hitler-Nazisme di Jerman; ideologi Komunisme di Rusia dan beberapa buah negara sosial yang lain, serta juga Zionisme-Yahudi. Kebangkitan serta pengukuhan kuasa Hitler umumnya adalah bergantung pada golongan pemuda Jerman sendiri. Mereka menyokong Hitler atas kesedaran untuk memperbaiki nasib dan masa depan negara, di mana selama beberapa lama sesudah perang dunia pertama, orang-orang Jerman tertindas dan hidup melarat di tanahair mereka sendiri. Barbara Webwer, (1974) Di dalam masyarakat Sosialis yang lain juga terdapat pertumbuhan-pertumbuhan pemuda yang besar, yang menjadi benteng kekuatan ideologi dan regim politik masing-masing secara tersusun. Misalnya di Poland, di mana terdapat Socialist Rural Youth Union–SRYU, Social Youth Union–SYU, Polish Pathfinders Assocciation dan Polish Socialist Students Association. Sungguhpun keempat-empat pertubuhan ini lebih berorientasikan pada gerakan sosial dan pendidikan tetapi konsep perjuangannya adalah dijiwai oleh konsep politik sosialisme itu sendiri.
Tahun 1928 pemuda memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan Sumpah Pemuda, karena pada saat itu berdiri pergerakan-pergerakan pemuda seperti young java, young sumatera, Badan Permusyawaratan/Perwakilan Pelajar Indonesia (BAPERPRI), Persatuan Mahasiswa yang dipelopori oleh putra-putra bangsa seperti Sukarni, Ahmad Subarjo, Syahrir, Chaerul Saleh, Darwis. Johar Nur, Eri Sadewo, E.A. Ratulangi, dan Syarif Thayeb. Para Pemuda pulahlah yang berjuang mendorong proklamasi kemerdekaan dan mempertahankannya.
Dibelahan dunia manapun ternyata pemuda sangat menentukan arah peradaban sebuah bangsa, bahkan lebih dari itu yaitu menentukan arah sebuah peradaban. Pada saat ini yang dinamakan dengan globalisasi dan semrawutnya zaman juga merupakan kontribusi dari pemuda-pemuda. Dengan power yang dimiliki oleh pemuda mampu merubah wajah dunia.
Menurut Hasan Al Banna bahwa pemuda memiliki keistimewaan-keistimewaan yaitu keyakinan (keimanan) keikhlasan, semangat dan amal. Hal tersebut yang mendukung fikrah pemuda alam mewujudkan sebuah cita-citanya. Sebagaimana Allah berfirman, “Innahum fityatun aamanu birabbihim wa jidnaahum huda”, (Sesungguhnya mereka itu orang-orang muda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami menambah buat mereka hudan (petunjuk), (al Kahfi, 18:13)).
C.      Karya Pemuda Islam
Mau dibawa kemana arah peradaban dunia ini oleh pemuda?, yang mana dunia saat ini dipengaruhi oleh framework Barat. Bagaimana dengan pemuda yang menyatakan dirinya seorang muslim?. Islam yang telah hadir dengan aturan yang komplit dan sesuai dengan segala macam zaman telah membuktikan pada dunia selama 7 abad lamanya. Sejak masa Rasulullah yang baru berusia belasan tahun membawa risalah perdamaian dan kemuliaan bagi umat manusia pada masa dimana kehormatan “dicabik-cabik” oleh umat manusia pada masa jahiliyah. Kemudian risalah diterima oleh sebagian kecil pemuda misalkan Arqom bin Abi Arqom al Makhzumiy (13 tahun)[2] yang memberikan perlindungan pada Rasulullah dirumahnya untuk memberikan pembinaan pada beberapa sahabat sebut saja Zubair bin ‘Awam (15 tahun), Thalhah bin ‘Ubaidillah (16 tahun), Sa’ad bin Abi Waqash (17 tahun), bahkan Ali bin Abi Thalib masuk Islam dan memahaminya pada usia 10 tahun dan masih banyak sahabat lainnya yang mereka telah berjuang bersama Rasulullah untuk mempertahankan islam melalui dakwah.
Kemudian pada zamannya Islam mengalami masa keemasan ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa. Kejayaan tersebut ditunjukkan dengan berbagai peninggalan-peninggalan dan karya-karya ilmuwan muda Islam yang memberikan kontribusi terbesar bagi peradaban dunia. Keemasan Islam diperoleh pada masa Harun Ar Rasyid dengan segala kebijakannya untuk membangkitkan Islam. Beliau memobilisasi potensi pemuda untuk melakukan penerjemahan terhadap ilmu-ilmu yang ada di Yunani dan Romawi, karena di dua bangsa tersebut mengalami masa kegelapan (dark age) dan kebuntuhan ilmu dalam segala bidang. Sehingga dengan banyaknya penerjemah muslim, maka Harun Ar Rasyid membangun sebuah peradaban ilmu dengan bangunan perpustakaan termegah dan terlengkap pada masa itu, sebut saja khizanah al hikmah (Baitul Hikmah) di Baghdad, Perpustakaan Cordoba di Spanyol, Darul Hikamah di Mesir, Al-Haidariyah di An-Najaf , Ibnu Sawwar di Basrah dan beberapa wilayah Afrika dan Eropa. Perkembangan perpustakaan dan keilmuwan inilah pakar sejarah dan ilmuwan Barat mengakui kontribusi peradaban Islam terhadap Barat (dalam buku Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia karya Prof. Dr. Raghib As Sirjani).
Montgomery Watt[3] sampai merasa heran dan mengatakan, “Anehnya, orang-orang yang ikut serta dalam perang salib mengaku bahwa agama mereka (Islam) adalah agama perdamaian”. Sebagaimana Will Durrant juga mengatakan, “orang-orang eropa yang menduduki dua negeri ini (Syria dan Palestina saat perang Salib) telah berhias dengan hiasan Islam secara sedikit demi sedikit. Hubungan mereka dengan kaum muslimin dikawasan tersebut menjadi semakin kuat. Jarang sekali diantara dua bangsa tersebut yang saling menjauhi dan saling memusuhi. Para saudagar muslim secara bebas memasuki negeri-negeri kristen dan menjual barang dagangan kepada penduduknya. Para tokoh agama Nasrani membolehkan kaum muslimin untuk beribadah di masjid-masjid. Kaum muslimin pun mengajarkan al Qur’an kepada anak-anak mereka disekolah-sekolah Islam yang ada di Antokia dan Tripoli yang dikuasai Nasrani”. Hal ini menunjukkan bahwa Islam bisa berdampingan dengan agama, karena mereka sangat merasakan kontribusi yang telah dibawa oleh pemuda muslim dan mereka mengalami perubahan hidup yang lebih terhormat dan dihargai.
Salah satu lagi sanjungan orientalis Perancis – Maxine Rodinson terhadap pemuda Islam yaitu Shalahuddin Al Ayyubi (31 tahun) ketika berhasil membebaskan kota Baitul Maqdis. Ia mengatakan, “Musuh terbesar, Shalahuddin Al Ayyubi telah menimbulkan kekaguman yang luas dikalangan Barat. Ia telah melakukan peperangan dengan menjunjung tinggi sisi kemanusian dan kepahlawanan, walaupun jarang ada orang yang membalas baik atas sikap-sikapnya ini. Diantara mereka yang paling penting adalah Richard (raja Inggris waktu itu) sang hati singa.”
Thomas Arnold mengatakan,”Tampak jelas bahwa akhlak Shalahuddin Al Ayyubi dan kehidupannya yang penuh dengan kepahlawanan telah menimbulkan pengaruh besar dan sihir yang khusus ditelinga kaum Nasrani. Bahkan sebagian dari para pahlawan Nasrani karena sangat terpengaruh dengan Shalahuddin Al Ayyubi rela meninggalkan agama Nasrani, meninggalkan kaumnya dan bergabung dengan kaum muslimin.”[4]
Gustave Le Bon mengatakan,”Sesungguhnya bangsa Arab telah mempraktikkan ruh persamaan secara mutlak sesuia dengan norma-norma mereka, dan bahwa persamaan yang diedungkan di Eropa, hanya dalam ucapan, namun tidak dalam praktik, telah mengakar kuat dalam karakteristik-karakteristik Islam. Kaum muslimin tidaklah mengenal strata-strata sosial yang keberadaannya menyebabkan terjadinya revolusi paling mengerikan di barat, dan sampai sekarang tetap masih ada.”
Kejayaan Islam yang pernah diraih tidak hanya sekedar menemukan benda-benda, namun lebih dari itu. Pemuda Islam telah meletakkan dasar berfikir ilmiah, khususnya dalam bidang penelitian dan metodologi. Sebagaimana Sigrid Hunke mengakui bahwa orang-orang muslim Arab telah mengembangkan bahan-bahan mentah yang diperoleh dari Yunani (Greek) dengan uji coba dan penelitian ilmiah kemudian menformulasikannya dalam bentuk yang baru sama sekali. Sesungguhnya Arab dalam kenyataannya sendiri adalah pembuat Metodologi Penelitian yang benar dengan didasarkan pada uji coba.”
Sesungguhnya kaum (pemuda) muslimin Arab bukan hanya menyelamatkan peradaban bangsa Yunani dari kepunahan, menyusun dan mengklasifikasikannya kemudian menghadiahkan ke Barat begitu saja. Akan tetapi sebenarnya kaum muslimin adalah peletak berbagai macam metodologi penelitian dalam segala bidang keilmuan (kimia, psikologi, ilmu hitung, perbintangan, ilmu ukur, ilmu sosial, hukum, dan sebagainya).
D.     Sejarah Pembangunan Peradaban Islam (Pilar Pembangunan Peradaban Islam)
Pemuda yang merindukan pembangunan peradaban Islam, sebagaimana masa keemasannya harus mulai dimulai sejak sekarang dan di mulai dari diri sendiri yang kemudian memberikan nur (cahaya) ilmu pada pemuda-pemuda lainnya.
Pemuda sebagai agen of change harus memahami pilar-pilar peradaban Islam yang telah dibangun oleh tokoh-tokoh Islam dizamannya. Sebenarnya pilar peradaban Islam bertolak pada sebuah hadits rasulullah tentang Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga pilar tersebut memunculkan bidang masing-masing, misalkan pilar “iman” melahirkan ilmu tauhid, ilmu kalam dan sebagainya berikut para ulama’nya seperti Imam Maturidy, Imam Hasan al Asy’ariy, dan sebagainya. Dari pilar “Islam” muncul ilmu figh atau syariah berikut para ulama’ fiqh seperti 4 mahdzab (Imam malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali). Dengan pilar inilah hukum-hukum Islam semakin jelas dalam tata cara pelaksanaannya dalam kehidupan. Dan dari pilar “Ihsan” berkembang ilmu akhlaq, atau ilmu tasawuf dengan sejumlah ulama’nya seperti Hasan al bashri, Junaid al Baghdadi, Imam Al Ghazali. Oleh karena itu untuk membangun sebuah peradaban Islam yang harus dimiliki dan dilakukan oleh pemuda adalah tiga pilar tersebut, yaitu:
1.      Pilar Tauhid (Aqidah)
Keimanan menjadi yang utama dalam kehidupan, karenanya (iman) seseorang memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain – muslim  atau non muslim, kafir atau tidak. Jika pemuda memiliki aqidah yang benar kepada Allah, maka Allah akan memudahkan baginya untuk mampu memahami agama dengan benar. Jika keimanan seseorang salah terhadap Allah atau menduakan Allah, maka tentunya dalam setiap amalannya akan tertolak.
Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan).
Secara terminologi “aqidah” yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang  menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
Aqidah yang benar tidak mengagungkan akal diatas segalanya, sebagaimana yang telah banyak dilakukan oleh ilmuwan Barat, seperti Socrates, Aristoteles, Plato, Dante Alighieri, dan kawan-kawannya. Ketika akal dipuja-puja maka yang terjadi adalah kebuntuhan ilmu dalam segala bidang dan matinya hati untuk mengenal Tuhannya. Dan menghilangkan eksistensi dirinya sebagai hamba dan khalifah.
Oleh karenanya aqidah kepada Allah harus diatas segalanya, sehingga Allah melindungi setiap amaliyah-amaliyah ibadah, sebagaimana Allah berfirman, "Sesungguhnya mereka itu orang-orang muda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami menambah buat mereka hudan (petunjuk).”(al-Kahfi, 18:13)
2.      Pilar Ilmu (Syariah)
Muncul sebuah pertanyaan dari  Prof. Muhammad Naquib Al Attas yang diajukan kepada murid-muridnya, “kalian ingin menjadi Harun al Rasyid (Khalifah Abbasiyah paling terkenal) atau Abu Hanifah (salah seorang ulama’ mahdzab)?, siapa yang masih bisa “abadi” hingga sekarang?, tentu Imam Abu hanifah. Meski beliau pernah dipenjara dalam masa kekhalifahan Abbasiyah, tetapi hasil ijtihadnya dalam ilmu fiqh tetap terpelihara sampai sekarang. Sementara Harun al Rasyid, ia memang pernah berjaya dalam satu fase peradaban Islam, tetapi hanya pada masanya. Hal ini menunjukkan bahwa jika peradaban berlandaskan kekuasaan akan mudah musnah dan tidak akan pernah bertahan lama, sedangkan jika peradaban yang berlandaskan pada ilmu akan bertahan lama sampai hari kiamat. Kekuasaan tentu penting, tetapi kekuasaan hanya bagian kecil dari peradaban Islam.
Karena peradaban juga dibangun berlandaskan ilmu, maka tidak setiap muslim tidak boleh meninggalkan ilmu, khususnya adalah ilmu agama yang sifatnya fardhu ‘ain dan juga ilmu-ilmu yang lain yang sifatnya fardhu kifayah. Sehingga yang sangat banyak berperan disini adalah lembaga pendidikan yang mampu mengintegrasikan kedua ilmu tersebut. Rasulullah diutus untuk urusan (ilmu) agama (umurid-din), sementara antum a’lamu liumurid-dunyakum. Jika urusan agama beres, maka urusan-urusan dunia (umurid-dunya) akan mengikutinya.
3.      Pilar Adab (Akhlaq)
Konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. ”Keduanya sia-sia karana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan.”[5]
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika al-Quran menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa (QS 49:13), maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih.
Dengan demikian, adab harus dimiliki oleh pemuda muslim yang akan membangun peradaban Islam. Adab pertama kali yang harus dimiliki adalah adab kepada Allah – karena ketika kita sholat, mengaji tidak menggunakan adab yang benar kepada sang Khaliq, maka sia-sialah perbuatan kita, kedua adab kepada Rasulullah sebagai pembawa risalah dan memberikan uswatun hasanah serta memberikan jalan terang pada kita untuk menikmati Islam sebagai agama rahmat lil ‘alamin. Sedangkan yang ketiga adalah adab kepada orang tua untuk selalu menjaga perasaan dan kasih sayang terhadapnya. Yang keempat, adab terhadap guru yang telah memberikan ilmu dengan segala kesabaran dan keikhlasannya. Kelima, adab terhadap sesama makhluk dan alam semesta yaitu menjaga tali silaturrahim, saling hormat menghormati, toleran, dan menjaga keberlangsungan hidup alam semesta.
Dengan kesimpulan bahwa menurut Hasyim Asy’ari ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11). (Jadi, secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya).
Ketiga pilar peradaban tersebut tidak dapat terpisahkan, terbukti jika seseorang memiliki tidak memiliki aqidah walaupun memiliki ilmu dan karakter baik maka akan terjadi kekufuran dalam dirinya dan tentunya akan menghilangkan perasaan hamba dalam dirinya yang kemudian muncul kesombongan. Namun jika seseorang memiliki aqidah kuat dan ilmu yang tajam, namun tidak memiliki adab maka akan terjadi penghancuran alam semesta dan kejahiliyahan yang akan berkuasa, sebagaimana bangsa Arab sebelum Rasulullah di utus. Sedangkan dengan Ilmu yang sedikit, walaupun akidah dan memiliki adab maka akan terjadi penyesatan terhadap umat manusia. Oleh karena itu tiga pilar peradaban tersebut perlu utnuk dipegang dan dijalankan secara totalitas sehingga terwujud peradaban Islam. Allahu a’lam.


[1] Dr. Ugi Suharto, “Peradaban Islam itu di Bangun di Atas Landasan Ilmu, majalah al Haromain edisi 86.hal 10-11.
[2] Dr. Raghib As Sirjany, Risalah bagi Pemuda Islam, samodra Ilmu, Yoyakarta, 2007.
[3] Montgomery Watt (1909-2006M), seorang orientalis Inggris yang memiliki spesialisasi Study Islam. Ia seorang dekan Fakultas Study Bahasa Arab di Universitas Adnebra Inggris. Lihat Prof.Dr. Raghib As Sirjany, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, Pustaka al Kautsar, Jakarta, 2012.
[4] The Preaching of Islam, Thomas Arnold.
[5] Prof. SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar