PEMUDA DAN BANGUNAN
PERADABAN ISLAM
(Akhmad Hasan Saleh)
A.
Makna Peradaban Islam
Perbincangan
peradaban di kalangan ilmuwan muslim dan ilmuwan Barat bukan sesuatu yang tabu.
Bahkan dizaman modern ini, penulis mencermati bahwa saat ini sedang terjadi
sebuah perang peradaban antara Islam dan Barat. Karena yang berkembang saat ini
adalah perang pemikiran (ghozwul fikr)
untuk merebutkan seorang pemuda dengan segala potensi yang dimilikinya. Islam
telah membuktikan dengan kejayaan yang pernah diukir dalam sebuah sejarah
kehidupan dengan peradaban keilmuwan yang mampu menggetarkan musuhnya dan
merubah “wajah” dunia yang semakin berpengetahuan.
Peradaban
dalam bahasa Indonesia sering diidentikkan dengan kata kebudayaan. Akan tetapi
dalam bahasa Inggris, terdapat perbedaan pengertian antara civilization untuk
peradaban dan culture untuk kebudayaan. Demikian pula dalam bahasa Arab
dibedakan antara tsaqafah (kebudayaan), hadharah (kemajuan) dan tamaddun
(peradaban). Prof. Muhammad Naquib Al Attas menyebut peradaban dengan
“Tamadun”, yang berasal dari kata daana (ketaatan)-diinun (agama,
hukum)-dainun (hutang). Sehingga muncul kata tamadun (peradaban)
yakni sebuah tempat, region, atau city yang dikelola berdasarkan
(aturan-aturan) agama. Ketika din (agama) Allah yang bernama Islam telah
disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah.
Dari akar kata din dan Madinah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang
berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan. Kenapa
Prof. Muhammad naquib Al Attas menggunakan kata “tamaddun”, karena memiliki kaitan dengan diberlakukannya
aturan-aturan agama didalamnya.[1]
B.
Keistimewaan Pemuda
Kaum muslimin saat ini sedang dilanda
degradasi dan pengkaburan keimanan. Menurut Profesor al-Attas bahwa sebab utama
terjadinya keadaan buruk Kaum Muslimin dewasa ini, adalah kejahilan masyarakat
Muslim itu sendiri mengenai Islam secara yang menyeluruh. Kejahilan mengenai
Islam itulah yang telah melenyapkan kesadaran akan tanggungjawab individu dan
kaum Muslimin terhadap amanah ilmu dan akhlak, dan seterusnya. Sehingga
mengalami berbagai macam kekeliruan ilmu dan penyelewengan amal, yang kemudian
mereka terus terbelenggu pada rantai penjajahan pemikiran globalisasi.
Arus pemikiran yang terus “semrawut” masuk dalam segala aspek kehidupan
umat manusia, mulai dari keluarga, ekonomi, politik, budaya bahkan lembaga
pendidikan yang menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan pengkaderan
pemuda. Sekian banyak pemikiran muncul untuk memberikan “warna-warni”
kehidupan, sehingga peradaban saat ini semakin tidak memiliki tujuan jelas
dalam pembangunannya. Kontribusi ketidakjelasan pembangunan peradaban terletak
pada pemuda sebagai agen of change.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa harus pemuda?. Menurut Luis A. Gomez
de Souze & Lucia Ribeiro, (1976) pemuda adalah satu golongan atau kelompok umur anggota sebuah
masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tingkah laku atau budaya tertentu.
Kedudukan, peranan dan penglibatan mereka adalah bergantung pada suasana, struktur
serta sistem kehidupan sebuah masyarakat, sama ada yang berkaitan dengan
ekonomi, tingkat kemajuan sosio-ekonomi, pendidikan, ideologi, politik,
nilai-nilai sosio-budaya atau lain-lainnya.
William L. Shirer (1959) mengatakan bahwa golongan pemuda juga merupakan
tenaga penting yang boleh menentukan kekuasaan seorang pemimpin atau ideologi
politik dalam abad ini. Misalnya dalam konteks kebangkitan kekuasaan
Hitler-Nazisme di Jerman; ideologi Komunisme di Rusia dan beberapa buah negara
sosial yang lain, serta juga Zionisme-Yahudi. Kebangkitan serta pengukuhan
kuasa Hitler umumnya adalah bergantung pada golongan pemuda Jerman sendiri.
Mereka menyokong Hitler atas kesedaran untuk memperbaiki nasib dan masa depan
negara, di mana selama beberapa lama sesudah perang dunia pertama, orang-orang
Jerman tertindas dan hidup melarat di tanahair mereka sendiri. Barbara Webwer,
(1974) Di dalam masyarakat Sosialis yang lain juga terdapat pertumbuhan-pertumbuhan pemuda yang besar, yang menjadi benteng
kekuatan ideologi dan regim politik masing-masing secara tersusun. Misalnya di
Poland, di mana terdapat Socialist Rural
Youth Union–SRYU, Social Youth Union–SYU, Polish Pathfinders Assocciation
dan Polish Socialist Students Association. Sungguhpun keempat-empat pertubuhan
ini lebih berorientasikan pada gerakan sosial dan pendidikan tetapi konsep
perjuangannya adalah dijiwai oleh konsep politik sosialisme itu sendiri.
Tahun 1928
pemuda memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan Sumpah Pemuda,
karena pada saat itu berdiri pergerakan-pergerakan pemuda seperti young java,
young sumatera, Badan Permusyawaratan/Perwakilan
Pelajar Indonesia (BAPERPRI), Persatuan
Mahasiswa yang dipelopori oleh putra-putra bangsa seperti Sukarni, Ahmad
Subarjo, Syahrir, Chaerul Saleh, Darwis.
Johar Nur, Eri Sadewo, E.A. Ratulangi, dan Syarif
Thayeb. Para Pemuda pulahlah yang berjuang mendorong proklamasi
kemerdekaan dan mempertahankannya.
Dibelahan
dunia manapun ternyata pemuda sangat menentukan arah peradaban sebuah bangsa,
bahkan lebih dari itu yaitu menentukan arah sebuah peradaban. Pada saat ini
yang dinamakan dengan globalisasi dan semrawutnya zaman juga merupakan
kontribusi dari pemuda-pemuda. Dengan power yang dimiliki oleh pemuda mampu
merubah wajah dunia.
Menurut Hasan Al Banna bahwa pemuda memiliki keistimewaan-keistimewaan
yaitu keyakinan (keimanan) keikhlasan, semangat dan amal. Hal tersebut yang
mendukung fikrah pemuda alam mewujudkan sebuah cita-citanya. Sebagaimana Allah
berfirman, “Innahum fityatun aamanu
birabbihim wa jidnaahum huda”, (Sesungguhnya
mereka itu orang-orang muda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami menambah
buat mereka hudan (petunjuk), (al Kahfi, 18:13)).
C. Karya Pemuda Islam
Mau dibawa
kemana arah peradaban dunia ini oleh pemuda?, yang mana dunia saat ini
dipengaruhi oleh framework Barat. Bagaimana dengan pemuda yang menyatakan
dirinya seorang muslim?. Islam yang telah hadir dengan aturan yang komplit dan
sesuai dengan segala macam zaman telah membuktikan pada dunia selama 7 abad
lamanya. Sejak masa Rasulullah yang baru berusia belasan tahun membawa risalah
perdamaian dan kemuliaan bagi umat manusia pada masa dimana kehormatan
“dicabik-cabik” oleh umat manusia pada masa jahiliyah. Kemudian risalah
diterima oleh sebagian kecil pemuda misalkan Arqom bin Abi Arqom al Makhzumiy
(13 tahun)[2]
yang memberikan perlindungan pada Rasulullah dirumahnya untuk memberikan
pembinaan pada beberapa sahabat sebut saja Zubair bin ‘Awam (15 tahun), Thalhah
bin ‘Ubaidillah (16 tahun), Sa’ad bin Abi Waqash (17 tahun), bahkan Ali bin Abi
Thalib masuk Islam dan memahaminya pada usia 10 tahun dan masih banyak sahabat
lainnya yang mereka telah berjuang bersama Rasulullah untuk mempertahankan
islam melalui dakwah.
Kemudian
pada zamannya Islam mengalami masa keemasan ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa.
Kejayaan tersebut ditunjukkan dengan berbagai peninggalan-peninggalan dan
karya-karya ilmuwan muda Islam yang memberikan kontribusi terbesar bagi
peradaban dunia. Keemasan Islam diperoleh pada masa Harun Ar Rasyid dengan
segala kebijakannya untuk membangkitkan Islam. Beliau memobilisasi potensi
pemuda untuk melakukan penerjemahan terhadap ilmu-ilmu yang ada di Yunani dan
Romawi, karena di dua bangsa tersebut mengalami masa kegelapan (dark age) dan kebuntuhan ilmu dalam
segala bidang. Sehingga dengan banyaknya penerjemah muslim, maka Harun Ar
Rasyid membangun sebuah peradaban ilmu dengan bangunan perpustakaan termegah
dan terlengkap pada masa itu, sebut saja khizanah al hikmah (Baitul
Hikmah) di Baghdad, Perpustakaan Cordoba di Spanyol, Darul Hikamah di Mesir, Al-Haidariyah
di An-Najaf , Ibnu Sawwar di Basrah dan beberapa wilayah Afrika dan Eropa. Perkembangan
perpustakaan dan keilmuwan inilah pakar sejarah dan
ilmuwan Barat mengakui kontribusi peradaban Islam terhadap Barat (dalam buku Sumbangan
Peradaban Islam Pada Dunia karya Prof. Dr. Raghib As Sirjani).
Montgomery
Watt[3]
sampai merasa heran dan mengatakan, “Anehnya, orang-orang yang ikut serta dalam
perang salib mengaku bahwa agama mereka (Islam) adalah agama perdamaian”.
Sebagaimana Will Durrant juga mengatakan, “orang-orang eropa yang menduduki dua
negeri ini (Syria dan Palestina saat perang Salib) telah berhias dengan hiasan
Islam secara sedikit demi sedikit. Hubungan mereka dengan kaum muslimin
dikawasan tersebut menjadi semakin kuat. Jarang sekali diantara dua bangsa
tersebut yang saling menjauhi dan saling memusuhi. Para saudagar muslim secara
bebas memasuki negeri-negeri kristen dan menjual barang dagangan kepada
penduduknya. Para tokoh agama Nasrani membolehkan kaum muslimin untuk beribadah
di masjid-masjid. Kaum muslimin pun mengajarkan al Qur’an kepada anak-anak mereka
disekolah-sekolah Islam yang ada di Antokia dan Tripoli yang dikuasai Nasrani”.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam bisa berdampingan dengan agama, karena mereka
sangat merasakan kontribusi yang telah dibawa oleh pemuda muslim dan mereka
mengalami perubahan hidup yang lebih terhormat dan dihargai.
Salah satu
lagi sanjungan orientalis Perancis – Maxine Rodinson terhadap pemuda Islam
yaitu Shalahuddin Al Ayyubi (31 tahun) ketika berhasil membebaskan kota Baitul
Maqdis. Ia mengatakan, “Musuh terbesar, Shalahuddin Al Ayyubi telah menimbulkan
kekaguman yang luas dikalangan Barat. Ia telah melakukan peperangan dengan
menjunjung tinggi sisi kemanusian dan kepahlawanan, walaupun jarang ada orang
yang membalas baik atas sikap-sikapnya ini. Diantara mereka yang paling penting
adalah Richard (raja Inggris waktu itu) sang hati singa.”
Thomas
Arnold mengatakan,”Tampak jelas bahwa akhlak Shalahuddin Al Ayyubi dan
kehidupannya yang penuh dengan kepahlawanan telah menimbulkan pengaruh besar
dan sihir yang khusus ditelinga kaum Nasrani. Bahkan sebagian dari para
pahlawan Nasrani karena sangat terpengaruh dengan Shalahuddin Al Ayyubi rela
meninggalkan agama Nasrani, meninggalkan kaumnya dan bergabung dengan kaum muslimin.”[4]
Gustave Le
Bon mengatakan,”Sesungguhnya bangsa Arab telah mempraktikkan ruh persamaan
secara mutlak sesuia dengan norma-norma mereka, dan bahwa persamaan yang
diedungkan di Eropa, hanya dalam ucapan, namun tidak dalam praktik, telah
mengakar kuat dalam karakteristik-karakteristik Islam. Kaum muslimin tidaklah
mengenal strata-strata sosial yang keberadaannya menyebabkan terjadinya
revolusi paling mengerikan di barat, dan sampai sekarang tetap masih ada.”
Kejayaan Islam
yang pernah diraih tidak hanya sekedar menemukan benda-benda, namun lebih dari
itu. Pemuda Islam telah meletakkan dasar berfikir ilmiah, khususnya dalam
bidang penelitian dan metodologi. Sebagaimana Sigrid Hunke mengakui bahwa
orang-orang muslim Arab telah mengembangkan bahan-bahan mentah yang diperoleh
dari Yunani (Greek) dengan uji coba
dan penelitian ilmiah kemudian menformulasikannya dalam bentuk yang baru sama
sekali. Sesungguhnya Arab dalam kenyataannya sendiri adalah pembuat Metodologi
Penelitian yang benar dengan didasarkan pada uji coba.”
Sesungguhnya
kaum (pemuda) muslimin Arab bukan hanya menyelamatkan peradaban bangsa Yunani
dari kepunahan, menyusun dan mengklasifikasikannya kemudian menghadiahkan ke
Barat begitu saja. Akan tetapi sebenarnya kaum muslimin adalah peletak berbagai
macam metodologi penelitian dalam segala bidang keilmuan (kimia, psikologi,
ilmu hitung, perbintangan, ilmu ukur, ilmu sosial, hukum, dan sebagainya).
D. Sejarah Pembangunan Peradaban
Islam (Pilar Pembangunan Peradaban Islam)
Pemuda yang merindukan pembangunan peradaban Islam, sebagaimana masa
keemasannya harus mulai dimulai sejak sekarang dan di mulai dari diri sendiri
yang kemudian memberikan nur (cahaya) ilmu pada pemuda-pemuda lainnya.
Pemuda sebagai agen of change
harus memahami pilar-pilar peradaban Islam yang telah dibangun oleh tokoh-tokoh
Islam dizamannya. Sebenarnya pilar peradaban Islam bertolak pada sebuah hadits
rasulullah tentang Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga pilar tersebut memunculkan
bidang masing-masing, misalkan pilar “iman” melahirkan ilmu tauhid, ilmu kalam
dan sebagainya berikut para ulama’nya seperti Imam Maturidy, Imam Hasan al
Asy’ariy, dan sebagainya. Dari pilar “Islam” muncul ilmu figh atau syariah
berikut para ulama’ fiqh seperti 4 mahdzab (Imam malik, Imam Syafi’i, Imam
Hanafi, Imam Hambali). Dengan pilar inilah hukum-hukum Islam semakin jelas
dalam tata cara pelaksanaannya dalam kehidupan. Dan dari pilar “Ihsan”
berkembang ilmu akhlaq, atau ilmu tasawuf dengan sejumlah ulama’nya seperti
Hasan al bashri, Junaid al Baghdadi, Imam Al Ghazali. Oleh karena itu untuk
membangun sebuah peradaban Islam yang harus dimiliki dan dilakukan oleh pemuda
adalah tiga pilar tersebut, yaitu:
1.
Pilar Tauhid (Aqidah)
Keimanan menjadi yang utama dalam kehidupan, karenanya (iman) seseorang
memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain – muslim atau non muslim, kafir atau tidak. Jika
pemuda memiliki aqidah yang benar kepada Allah, maka Allah akan memudahkan
baginya untuk mampu memahami agama dengan benar. Jika keimanan seseorang salah
terhadap Allah atau menduakan Allah, maka tentunya dalam setiap amalannya akan
tertolak.
Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu"
yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan),
at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan).
Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan).
Secara terminologi “aqidah” yaitu perkara yang wajib
dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi
suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan
kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu
keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan
kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut
tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah.
Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
Aqidah yang
benar tidak mengagungkan akal diatas segalanya, sebagaimana yang telah banyak
dilakukan oleh ilmuwan Barat, seperti Socrates, Aristoteles, Plato, Dante Alighieri, dan kawan-kawannya. Ketika akal dipuja-puja maka yang
terjadi adalah kebuntuhan ilmu dalam segala bidang dan matinya hati untuk
mengenal Tuhannya. Dan menghilangkan eksistensi dirinya sebagai hamba dan
khalifah.
Oleh
karenanya aqidah kepada Allah harus diatas segalanya, sehingga Allah melindungi
setiap amaliyah-amaliyah ibadah, sebagaimana Allah berfirman, "Sesungguhnya mereka itu orang-orang muda yang beriman kepada Tuhan
mereka, dan Kami menambah buat mereka hudan (petunjuk).”(al-Kahfi, 18:13)
2.
Pilar Ilmu (Syariah)
Muncul sebuah pertanyaan dari Prof. Muhammad Naquib Al Attas yang diajukan
kepada murid-muridnya, “kalian ingin menjadi Harun al Rasyid (Khalifah
Abbasiyah paling terkenal) atau Abu Hanifah (salah seorang ulama’ mahdzab)?,
siapa yang masih bisa “abadi” hingga sekarang?, tentu Imam Abu hanifah. Meski
beliau pernah dipenjara dalam masa kekhalifahan Abbasiyah, tetapi hasil
ijtihadnya dalam ilmu fiqh tetap terpelihara sampai sekarang. Sementara Harun
al Rasyid, ia memang pernah berjaya dalam satu fase peradaban Islam, tetapi
hanya pada masanya. Hal ini menunjukkan bahwa jika peradaban berlandaskan kekuasaan akan mudah musnah dan tidak
akan pernah bertahan lama, sedangkan jika peradaban yang berlandaskan pada ilmu akan bertahan lama sampai hari
kiamat. Kekuasaan tentu penting, tetapi kekuasaan hanya bagian kecil dari
peradaban Islam.
Karena peradaban juga dibangun berlandaskan ilmu, maka tidak setiap
muslim tidak boleh meninggalkan ilmu, khususnya adalah ilmu agama yang sifatnya
fardhu ‘ain dan juga ilmu-ilmu yang
lain yang sifatnya fardhu kifayah.
Sehingga yang sangat banyak berperan disini adalah lembaga pendidikan yang
mampu mengintegrasikan kedua ilmu tersebut. Rasulullah diutus untuk urusan
(ilmu) agama (umurid-din), sementara antum
a’lamu liumurid-dunyakum. Jika urusan agama beres, maka urusan-urusan dunia
(umurid-dunya) akan mengikutinya.
3.
Pilar Adab (Akhlaq)
Konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad
Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib
al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan
kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat,
yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan
adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti
ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu.
”Keduanya sia-sia karana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan
yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan.”[5]
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan,
jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan
menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab
terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali dan mengakui seseorang
sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang shalih beda dengan martabat
orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika al-Quran menyebutkan, bahwa manusia
yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa (QS 49:13), maka
seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepada penguasa yang zalim
ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih.
Dengan demikian, adab harus dimiliki oleh pemuda muslim yang
akan membangun peradaban Islam. Adab pertama
kali yang harus dimiliki adalah adab kepada Allah – karena ketika kita sholat,
mengaji tidak menggunakan adab yang benar kepada sang Khaliq, maka sia-sialah
perbuatan kita, kedua adab kepada
Rasulullah sebagai pembawa risalah dan memberikan uswatun hasanah serta memberikan jalan terang pada kita untuk
menikmati Islam sebagai agama rahmat lil
‘alamin. Sedangkan yang ketiga adalah
adab kepada orang tua untuk selalu menjaga perasaan dan kasih sayang
terhadapnya. Yang keempat, adab
terhadap guru yang telah memberikan ilmu dengan segala kesabaran dan
keikhlasannya. Kelima, adab terhadap
sesama makhluk dan alam semesta yaitu menjaga tali silaturrahim, saling hormat
menghormati, toleran, dan menjaga keberlangsungan hidup alam semesta.
Dengan kesimpulan bahwa menurut Hasyim Asy’ari ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna
lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū,
lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā
ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim
Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H).
hal. 11). (Jadi, secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan
wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman
mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia
tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab;
maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syariat, tiada
iman, dan tiada tauhid padanya).
Ketiga pilar peradaban tersebut tidak dapat terpisahkan, terbukti jika
seseorang memiliki tidak memiliki aqidah walaupun memiliki ilmu dan karakter
baik maka akan terjadi kekufuran dalam dirinya dan tentunya akan menghilangkan
perasaan hamba dalam dirinya yang kemudian muncul kesombongan. Namun jika
seseorang memiliki aqidah kuat dan ilmu yang tajam, namun tidak memiliki adab
maka akan terjadi penghancuran alam semesta dan kejahiliyahan yang akan
berkuasa, sebagaimana bangsa Arab sebelum Rasulullah di utus. Sedangkan dengan
Ilmu yang sedikit, walaupun akidah dan memiliki adab maka akan terjadi
penyesatan terhadap umat manusia. Oleh karena itu tiga pilar peradaban tersebut
perlu utnuk dipegang dan dijalankan secara totalitas sehingga terwujud
peradaban Islam. Allahu a’lam.
[1] Dr. Ugi Suharto, “Peradaban Islam itu di
Bangun di Atas Landasan Ilmu, majalah al Haromain edisi 86.hal 10-11.
[2] Dr. Raghib As Sirjany, Risalah bagi Pemuda
Islam, samodra Ilmu, Yoyakarta, 2007.
[3] Montgomery Watt
(1909-2006M), seorang orientalis Inggris yang memiliki spesialisasi Study Islam.
Ia seorang dekan Fakultas Study Bahasa Arab di Universitas Adnebra Inggris. Lihat Prof.Dr. Raghib As Sirjany, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, Pustaka al Kautsar, Jakarta,
2012.
[4] The
Preaching of Islam, Thomas Arnold.
[5] Prof. SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar