FIQIH IKHTILAT
Akhmad Hasan Saleh
A.
Keterikatan Syara’
Manusia hidup sebagai makhluk ciptaan
tidak dapat hidup dengan sendiri dan maunya sendiri. Pertama kali manusia hidup
(bayi) sudah dihadapkan dengan aturan-aturan, karena dalam kelemahannya tidak
mampu berbuat apapun, sehingga perlu suatu bimbingan dalam menjalankan
aktivitasnya baik hablum minallah dan hablum minannas. Sebagai hasil ciptaan, tentunya tetap
tergantung pada penciptanya dan pencipta tentunya menginginkan hasil ciptaannya
menjadi yang terbaik. Tidak ada pencipta yang berharap ciptaannya menjadi rusak
atau tidak beraturan.
Allah sebagai Khaliq menurunkan
petunjuk kepada manusia yang terangkum dalam dinul Islam dengan panduan Al Qur’an
dan Hadits. Islam sebagai din yang universal memberikan bahasan yang sangat
kompleks dari seluruh aspek kehidupan dan memberikan penyelesaian yang terbaik
untuk setiap permasalahan. Agama Islam tidak hanya sebagai agama yang normative
tetapi pula sebagai agama yang ideologis, karena mampu membentuk prinsip-prinsip
kebenaran dan keadilan dalam kehidupan. Allah berfirman dalam surat An Nisa’:89,
..….dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk ……..
Keuniversalan Islam tidak hanya
mencangkup ajarannya, namun juga mencangkup bangsa-bangsa dan umatnya secara
keseluruhan. Sehingga ajaran Islam tidak hanya untuk mengatur pribadi, namun
juga mengatur hubungan antar sesama walaupun ada perbedaan, dan setiap masa
selalu ada pemimpin yang berkuasa untuk mengatur, memberi tauladan. Asy Syahid
Hasan Al Banna berkata, ”Sesungguhnya risalah Islam meliputi seluruh zaman,
umat/bangsa dan aspek-aspek kehidupan yang bernuansa religius atau ideologis”.[1] Agama Islam yang universal dapat menjadi rahmat bagi
seluruh alam:
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.(QS.Al
Anbiyaa’:107)
Katakanlah: "Hai manusia
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai
kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia,
yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya,
Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".(QS. Al
A’raaf:158)
Agama Islam mengajarkan pada manusia untuk memiliki sikap syukur
sebagai bentuk tanda terima kasih manusia pada penciptanya. Tanda terima kasih
itu diwujudkan dalam bentuk memahami dan menjalankan aturan yang Allah tetapkan
bagi manusia. Ketika manusia menjalankan aturan atau melanggarnya pastilah
Allah akan memberikan balasan pada manusia, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Zalzalah:7,
Barangsiapa yang mengerjakan
kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.
Oleh karena itu, ketika kita mengikrarkan diri untuk masuk dalam Islam
maka sebuah konsekuensinya adalah kita akan terikat (iltizam) dengan
segala sesuatu yang ditetapkan oleh syara’ dan janganlah kita berperilaku
seperti orang-orang kafir yang hanya mengambil sebagian yang cocok (disukai)
dan membuang sebagian yang tidak relevan (tidak cocok) dengan kebutuhan mereka.
Allah berfirman dalam surat
Al Baqarah:85,
Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan
mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu
terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang
kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, Padahal mengusir mereka itu (juga)
terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan
ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah
dari apa yang kamu perbuat
B.
Hubungan Laki-laki dan
Wanita
Agama Islam yang universal
mengatur hubungan antara laki-laki dan wanita dalam campurbaur/interaksinya (ikhtilath).
Problem-problem hubungan laki-laki dan wanita telah diselesaikan dengan baik
dan benar oleh Islam dengan pola simbiosis mutualisme. Islam memandang
laki-laki dan wanita sebagai manusia yang terkena beban syara’, karena dalam
hal ini Allah menciptakan naluri-naluri (Gharizah) dan kebutuhan jasmani
(Hajatu Udhwiyyah) pada manusia. Khitob (seruan) syara’ tidak hanya
ditujukan pada wanita dan tidak pula pada laki-laki saja, namun ditujukan
kepada keduanya ditinjau dari sisi bahwa keduanya adalah manusia[2].
Dan manusia dihadapan Allah memiliki kesamaan sebagai hamba dan ibadah[3]
seperti sholat, puasa[4],
haji[5]
yang menjadi pembeda adalah ketaqwaan[6]
dan kodratnya sebagai penciptaan (jenis kelami/laki-laki dan wanita).
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…….. (QS. An Nisaa’:34)
Islam memandang hubungan (shilah) antara laki-laki dan wanita dengan
prinsip tolong menolong (shilah ta’awun) karena dengan prinsip itu akan
melahirkan kebaikan dalam masyarakat, namun tetap dengan aturan-aturan syara’ yang
telah ditetapkan bagi keduanya, sebagaimana seruan Allah untuk saling mengingatkan
dan tolong menolong dalam kebajikan bukan keburukan (kebathilan)[7].
Berbeda dengan Barat yang mendasari hubungan antara laki-laki dan
wanita dengan prinsip seksual (shilah jinsiyah). Sehingga wanita bagi
barat adalah bahan untuk ekspoitasi, misalkan dalam iklim produksi, wanita selalu
digunakan sebagai daya tarik (aksesoris), barter politik dengan berbagai
skandal perselingkuhan dan sebagainya.
Dari sinilah muncul gerakan feminisme yaitu gerakan yang didasarkan
pada asumsi bahwa wanita itu ditindas dan dieksploitasi[8].
Jadi konsep feminisme lahir dari prinsip hubungan laki-laki dan wanita yang
dianut oleh Barat. Oleh karena itu, Islam tidak mengenal konsep feminisme,
karena tidak ada prinsip eksploitasi atau penindasan wanita dalam Islam dan
wanita merupakan partner bagi laki-laki, sebagaimana Rasulullah bersabda
“Sesungguhnya wanita adalah partner
laki-laki”(HR. Abu Dawud dan
Nasa’iy)
1.
Bolehnya Memandang
Laki-Laki Maupun Wanita
Dalam kehidupan umum Islam memperbolehkan hubungan
laki-laki dan wanita dnegan dilandasi prinsip ta’awun dan zaujiwah. Hal ini karena secara alami laki-laki
membutuhkan wanita. Demikian pula sebaliknya, seperti dalam aktifitas kehidupan
manusia, seperti : muamalaht, munakahat, dakwah dan lain-lain. Hanya saja islam
memberikan batasan atau aturan hubungan antara lai-laki dan wanita agar
kehidupan manusia bisa berbahagia untuk mencapai ridho Allah[9].
Aturan tersebut diatur dalam surat
An Nur: 30- 31
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung”.
Dalam Islam, ada saat-saat tertentu laki-laki boleh memandang (melihat)
wanita misalkan: jual beli, dakwah, belajar, khotbah. Namun tetap pada
aturan-aturan menurut syara’ yaitu terbatas pada wajah dan telapak tangan
(termasuk punggung tangan) dengan tidak dilandasi sahwat (nafsu) dan ladzdzah
(kelezatan) ketika melihat[10].
Adapun aturan syara’ tentang diperbolehkannya:
1.
Memandang wanita pada wajah dan tangan ketika mengkhitbah (melamar)
Jabir bin Abdillah meriwayatkan bahwa
Rasulullah bersabda:
“Jika seorang kalian akan melamar seorang
wanita, jika mampu melihat sesuai yang dibutuhkan untuk nikah, maka
lakukanlah!.[11]
“Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari
akhir, maka tidak berkhalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai
muhrimnya, bahwa yang ketiganya adalah setan”.
2.
Dokter/Perawat memandang pasien
Seorang dokter dapat melihat pasien dalam rangka mendiagnosa
penyakitnya, hal ini berdasarkan peristiwa Hathib bin Abu Balta’ah yang
mengirim mata-mata seorang wanita ke Mekkah untuk mengabarkan pada keluarganya
agar bersiap-siap untuk menghadapi peperangan yang akan dilakukan oleh
Rasulullah. Namun hal itu diketahui oleh Rasulullah dan Beliau mengutus Ali ra,
Zubair dan Al Miqdad bin Al Aswad untuk mengambil surat dari mata-mata wanita tersebut.[12]
3.
Jual beli, Dakwah, Proses
Belajar Mengajar
Diriwayatkan oleh Aisyah bahwa
Asma binti Abu Bakar masuk kerumah Rasulullah dengan pakaian yang tipis, maka
Rasulullah berpaling seraya berkata:
“Wahai Asma, sesungguhnya
seorang wanita yang sudah baligh, maka tidak pantas dilihat tubuhnya kecuali
ini dan ini dengan menunjukkan wajah dan telapak tangan (sampai pergelangan).”(HR.
Abu Dawud)
Untuk proses belajar mengajar,
didasarkan pada riwayat Imam Bukhori dari Abi Sadi Al Khudry bahwa para wanita
pernah memohon pada Rasulullah untuk relajar secara khusus, dan Rsulullah
mengabulkannya.
“Kami telah dikalahkan (kesempatan belajar) oleh
kaum lai-laki. Untuk itu berilak kami keempatan belajar disuatu hari (secara
khusus)[13]
2.
Hukum Pacaran
Pacaran dalam Islam memang tidak
dikenal, karena pacaran tidak terlepas dari empat perbuatan sebagai prosesnya,
yaitu:
a.
Pandangan dengan sahwat dan
Ladzdzah
b.
Senyum menggoda
c.
Pegangan, Rabaan, Ciuman
d.
Berduaan (Khalwat)
Perbuatan tersebut dikategorikan perbuatan yang mendekati zina, sebagaimana
dalam QS. Al Israa’:32
”Dan janganlah kamu
mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan
suatu jalan yang buruk.”
Abuhurairah ra. berkata Nabi saw: ”Allah telah
menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, pasti terjadi tidak dapat tidak.
Zina mata ialah melihat, zina lidah berkata-kata, dan nafsu ingin sedang
kemaluan yang membenarkan pelaksanaannya atau mendustakannya.” (HR.
Bukhari-Muslim)[14]
Kalau mendekati zina saja berdosa apalagi berzina,
sehingga hukum dari keduanya adalah sama-sama berdosa karena keharamannya.
Namun dalam masa modern saat ini, segalanya sudah
bisa disiasati dengan lihai termasuk masalah pacaran untuk kembali mencari
ligitmasi agar tidak dianggap dosa, yaitu pacaran dengan model sms, hal ini
dalam rangka menghindari dari salah satu empat hal tersebut. Dalam hal ini
Allah mengingatkan dalam QS. Al Ahzab: 32
”Hai
isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah Perkataan yang baik”
Rasulullah bersabda,
”Jika kamu tidak punya
rasa malu maka lakukan apa saja yang kau mau”.[15]
Dari ayat tersebut yang dimaksud dengan dalam hati
mereka ada penyakit Ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan
wanita, seperti melakukan zina. Tentulah hal ini menunjukkan sms dengan
perkataan yang menimbulkan syahwat dan ladzdzah adalah haram.
C.
Wanita Diperintahkan
Menutup Aurat[16]
Aurat wanita dalam Islam dari
ujung rambut sampai dengan ujung kaki kecuali yang terbiasa terlihat menurut
Nabi saw yaitu wajah dan telapak tangan. Oleh karena itu, wanita diwajibkan
untuk menutup aurat (berjilbab/berkerudung) dengan tidak menampakkan auratnya. Karena
kebanyakan dari wanita saat ini seakan-akan menutup tubuhnya namun sebenarnya
telanjang, naudzubillahi min dzalik.
Makna Jilbab menurut tata bahasa (lughawi) dan beberapa
istilah para ahli tafsir adalah:
1.
Jilbab adalah pakaian yang luas[17]
2.
Jilbab adalah pakaian dan kerudung[18]
3.
Jilbab adalah Qomis yaitu pakaian
tipis yang dipakai dibawah mantel atau pakaian yang meliputi seluruh tubuh
wanita atau pakaian yang dipakai diatas pakaian pertama seperti mantel (milhafah)[19]
4.
Menurut Abu Hayyan, jilbab adalah
pakaian yang menutup seluruh tubuh wanita[20]
5.
Jilbab adalah pakaian menutupi
seluruh tubuh [21]
6.
Jilbab adalah mantel atau pakaian
yang dipakai di atas di atas pakaian lain yang diulur sampai kaki [22]
Makna Al-Khimaar (Pakaian
Atas) berdasarkan An-Nur: 31 adalah “mengulurkan penutup dari kepala sampai
leher dan dada”. Hal ini berrati bahwa makna jilbab secara normative adalah
sama dengan meutup aurat wanita (kecuali wajah dan ntapak tangan).
Terkait
dnegan bentuk jilbab, ulama madih berselisih naum masih dapat diratik benang
merah yaitu bahwa wanita dan bentuk jilbabnya marus memnuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Jilbab harus
diulurkan samapi seluruh kaki. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan kaos
kaki, ini berarti bahwa berpakaian itu menutup mata kaki.
2. Jilbab harus tidak
tembus pandang (tipis) dan tidak membentuk tubuh wanita (ketat)
3. Tidak boleh berparfum
yang berlebihan dengan niat supaya baunya bisa manarik laki-laki.
4. Jilbab tidak boleh
menimbulkan sahwat laki-laki.
D.
Wanita dalam Shafar
Sebagian ulama
memperbolehkan wanita bermusafir dengan tidak siertai muhrimnya asal dia bersama-sama
dengan wanita yang tsiqoh (dapat dipercaya) dan perjalanannya relatif aman.
Seperti yang dicontohkan oleh Umar yang menginjinkan istri-istri Nabi berhaji
deangan ditemani oleh Isman bin Affan serta Abdurrahman bi Auf, sedangkan istri-istri Nabi berada dalam
tandu.
Menurut Ibnu
Taimiyah boleh dua wanita atau lebih untuk melakukan perjalanan. Jika perjalanan melebihi batas satu hari satu
malam, maka perjalanan seorang diri dari wanita adalah haram. Sebagaimana
hadits Rasulullah,
”Tidak halal bagi seorang wanita yang
beriman kepada Allah dan hari akhir bermusafir selama sehari semalam kecuali
bersama mahromnya”.
Bagi seorang wanita yang sudah menikah harus
mendapatkan ijin dari suaminya. Diriwayatkan dari Atho’ dari Ibnu Abbas ketika
seorang wanita bertanya tentang hak laki-laki pada istrinya, maka Rasulullah
berkata,
”Wanita itu jangan keluar dari rumah
kecuali dengan ijin (suaminya). Jika dia melanggar, maka malaikat rahmat dan
malaikat pemarah akan melakukannya sampai dia bertaubat dan pulang ke rumahnya”[23]
[1] Yusuf Al
Qordlowi,……………………hal.105.
[2] …..lihat
Kumpulan Materi Pembinaan Kader Dakwah,editor Khairul Umami,Ujar Sudewo,
Cendana 7 Press, 2000, hal.94.
[3] Lihat QS. Ar Rum:30, An Nisaa’:1, Muhammad
:19, Al Ahzab:36, dari ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki
kesamaan untuk iman dan taat pada Allah dan RasulNya sebagai wujud fitrah
manusia. Manusia yang diciptakan sesuai kondratnya (laki-laki dan perempuan)
tidak pantas untuk memilih atau keluar dari kodratnya.
[4] Lihat QS.Al Baqarah: 184.
[5] Lihat QS. Ali Imran: 97.
[6] Lihat QS Al Hujurat:13, An Nahl 97, ayat ini
yang seringkali digunakan oleh paham feminisme untuk mensejajarkan laki-laki
dan wanita dalam segala (gender). Mereka
mencari ligitimasi Islam terhadap teori-teori Barat yang mereka anut. Lihat
Mansour Fakih, dkk, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam,
Risalah Gusti, Surabaya, 2000.
[7] Lihat QS. Al Maidah: 2
[8] Lihat Mansur Faqih, makalah diskusi “Perkembangan
Feminisme danRelevansinya di Indonesia……
[9] Lihat editor Khairul Umami,Ujar Sudewo, Opcid.
Hal. 96
[10]
Memandang dengan syarat tidak disertai sahwat
dan ladzdzah ini didasarkan pada riwayat Ali ra. Bahwasanya Rasulullah berkata
padanya:”Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan
yang berikutnya, karena yang pertama untukmu dan yang lain bukan untukmu”.Lihat
Opcid.99.
[11]
Lihat Fiqh As Sunnah, jilid II, hal 24.
[12]
Lihat Opcid, hal.98.
[13]
Lihat HR. Bukhari, hal.101.
[14]
Lihat H. Salim Bahreisy, Terjemahan Al Lu’lu’ Wal Marjan: Himpunan
Hadits shahih yang disepakati oleh Bukhari – Muslim,…..1980, hal.1010.
[15] Lihat
Shahihul Jami’, hal.2230
[16] Lihat QS.An Nur: 31, Al Ahzab: 59
[17] Lihat Kamus Al Munjid, dalam editor
Khairul Umami,Ujar Sudewo, Opcid. Hal. 100
[18] Lihat Raghib Ishfahany, Kitab Al
Mufradat….Opcid.
[19] Lihat
Ibrahim Anis,dkk, Mu’jamal Wasith….Opcid.
[20] Lihat Abu Hayyan, Al Bahrul Muhith,
Juz VII hal 150
[21] Dr. Muhammad Mahmud Al-Hijary, TAfsir
Al-Wadlih, juz 3, hal. 26
[22]
Taqyyudin An-Nabany, Nizhomul Ijtima’iy, hal. 66
[23] Ibnu al Jauzi, Ahkamal Nisa’, hal
138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar