Selasa, 19 November 2013

FIQIH IKHTILAT

FIQIH IKHTILAT
Akhmad Hasan Saleh


A.    Keterikatan Syara’
Manusia hidup sebagai makhluk ciptaan tidak dapat hidup dengan sendiri dan maunya sendiri. Pertama kali manusia hidup (bayi) sudah dihadapkan dengan aturan-aturan, karena dalam kelemahannya tidak mampu berbuat apapun, sehingga perlu suatu bimbingan dalam menjalankan aktivitasnya baik hablum minallah dan hablum minannas.  Sebagai hasil ciptaan, tentunya tetap tergantung pada penciptanya dan pencipta tentunya menginginkan hasil ciptaannya menjadi yang terbaik. Tidak ada pencipta yang berharap ciptaannya menjadi rusak atau tidak beraturan.
Allah sebagai Khaliq menurunkan petunjuk kepada manusia yang terangkum dalam dinul Islam dengan panduan Al Qur’an dan Hadits. Islam sebagai din yang universal memberikan bahasan yang sangat kompleks dari seluruh aspek kehidupan dan memberikan penyelesaian yang terbaik untuk setiap permasalahan. Agama Islam tidak hanya sebagai agama yang normative tetapi pula sebagai agama yang ideologis, karena mampu membentuk prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan dalam kehidupan. Allah berfirman dalam surat An Nisa’:89,
..….dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk ……..

Keuniversalan Islam tidak hanya mencangkup ajarannya, namun juga mencangkup bangsa-bangsa dan umatnya secara keseluruhan. Sehingga ajaran Islam tidak hanya untuk mengatur pribadi, namun juga mengatur hubungan antar sesama walaupun ada perbedaan, dan setiap masa selalu ada pemimpin yang berkuasa untuk mengatur, memberi tauladan. Asy Syahid Hasan Al Banna berkata, ”Sesungguhnya risalah Islam meliputi seluruh zaman, umat/bangsa dan aspek-aspek kehidupan yang bernuansa religius atau ideologis”.[1] Agama Islam yang universal dapat menjadi rahmat bagi seluruh alam:
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.(QS.Al Anbiyaa’:107)

Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".(QS. Al A’raaf:158)

Agama Islam mengajarkan pada manusia untuk memiliki sikap syukur sebagai bentuk tanda terima kasih manusia pada penciptanya. Tanda terima kasih itu diwujudkan dalam bentuk memahami dan menjalankan aturan yang Allah tetapkan bagi manusia. Ketika manusia menjalankan aturan atau melanggarnya pastilah Allah akan memberikan balasan pada manusia, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Zalzalah:7,

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.

Oleh karena itu, ketika kita mengikrarkan diri untuk masuk dalam Islam maka sebuah konsekuensinya adalah kita akan terikat (iltizam) dengan segala sesuatu yang ditetapkan oleh syara’ dan janganlah kita berperilaku seperti orang-orang kafir yang hanya mengambil sebagian yang cocok (disukai) dan membuang sebagian yang tidak relevan (tidak cocok) dengan kebutuhan mereka. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah:85,
  
Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, Padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat


B.     Hubungan Laki-laki dan Wanita
Agama Islam yang universal mengatur hubungan antara laki-laki dan wanita dalam campurbaur/interaksinya (ikhtilath). Problem-problem hubungan laki-laki dan wanita telah diselesaikan dengan baik dan benar oleh Islam dengan pola simbiosis mutualisme. Islam memandang laki-laki dan wanita sebagai manusia yang terkena beban syara’, karena dalam hal ini Allah menciptakan naluri-naluri (Gharizah) dan kebutuhan jasmani (Hajatu Udhwiyyah) pada manusia. Khitob (seruan) syara’ tidak hanya ditujukan pada wanita dan tidak pula pada laki-laki saja, namun ditujukan kepada keduanya ditinjau dari sisi bahwa keduanya adalah manusia[2]. Dan manusia dihadapan Allah memiliki kesamaan sebagai hamba dan ibadah[3] seperti sholat, puasa[4], haji[5] yang menjadi pembeda adalah ketaqwaan[6] dan kodratnya sebagai penciptaan (jenis kelami/laki-laki dan wanita).

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…….. (QS. An Nisaa’:34)

Islam memandang hubungan (shilah) antara laki-laki dan wanita dengan prinsip tolong menolong (shilah ta’awun) karena dengan prinsip itu akan melahirkan kebaikan dalam masyarakat, namun tetap dengan aturan-aturan syara’ yang telah ditetapkan bagi keduanya, sebagaimana seruan Allah untuk saling mengingatkan dan tolong menolong dalam kebajikan bukan keburukan (kebathilan)[7].
Berbeda dengan Barat yang mendasari hubungan antara laki-laki dan wanita dengan prinsip seksual (shilah jinsiyah). Sehingga wanita bagi barat adalah bahan untuk ekspoitasi, misalkan dalam iklim produksi, wanita selalu digunakan sebagai daya tarik (aksesoris), barter politik dengan berbagai skandal perselingkuhan dan sebagainya.
Dari sinilah muncul gerakan feminisme yaitu gerakan yang didasarkan pada asumsi bahwa wanita itu ditindas dan dieksploitasi[8]. Jadi konsep feminisme lahir dari prinsip hubungan laki-laki dan wanita yang dianut oleh Barat. Oleh karena itu, Islam tidak mengenal konsep feminisme, karena tidak ada prinsip eksploitasi atau penindasan wanita dalam Islam dan wanita merupakan partner bagi laki-laki, sebagaimana Rasulullah bersabda
“Sesungguhnya wanita adalah partner laki-laki”(HR. Abu Dawud dan Nasa’iy)

1.      Bolehnya Memandang Laki-Laki Maupun Wanita
Dalam kehidupan umum Islam memperbolehkan hubungan laki-laki dan wanita dnegan dilandasi prinsip ta’awun dan zaujiwah. Hal ini karena secara alami laki-laki membutuhkan wanita. Demikian pula sebaliknya, seperti dalam aktifitas kehidupan manusia, seperti : muamalaht, munakahat, dakwah dan lain-lain. Hanya saja islam memberikan batasan atau aturan hubungan antara lai-laki dan wanita agar kehidupan manusia bisa berbahagia untuk mencapai ridho Allah[9]. Aturan tersebut diatur dalam surat An Nur: 30- 31
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.

Dalam Islam, ada saat-saat tertentu laki-laki boleh memandang (melihat) wanita misalkan: jual beli, dakwah, belajar, khotbah. Namun tetap pada aturan-aturan menurut syara’ yaitu terbatas pada wajah dan telapak tangan (termasuk punggung tangan) dengan tidak dilandasi sahwat (nafsu) dan ladzdzah (kelezatan) ketika melihat[10]. Adapun aturan syara’ tentang diperbolehkannya:
1.      Memandang wanita pada wajah dan tangan ketika mengkhitbah (melamar)
Jabir bin Abdillah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
Jika seorang kalian akan melamar seorang wanita, jika mampu melihat sesuai yang dibutuhkan untuk nikah, maka lakukanlah!.[11]
“Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka tidak berkhalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai muhrimnya, bahwa yang ketiganya adalah setan”.

2.      Dokter/Perawat memandang pasien
Seorang dokter dapat melihat pasien dalam rangka mendiagnosa penyakitnya, hal ini berdasarkan peristiwa Hathib bin Abu Balta’ah yang mengirim mata-mata seorang wanita ke Mekkah untuk mengabarkan pada keluarganya agar bersiap-siap untuk menghadapi peperangan yang akan dilakukan oleh Rasulullah. Namun hal itu diketahui oleh Rasulullah dan Beliau mengutus Ali ra, Zubair dan Al Miqdad bin Al Aswad untuk mengambil surat dari mata-mata wanita tersebut.[12]

3.      Jual beli, Dakwah, Proses Belajar Mengajar
Diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakar masuk kerumah Rasulullah dengan pakaian yang tipis, maka Rasulullah berpaling seraya berkata:
“Wahai Asma, sesungguhnya seorang wanita yang sudah baligh, maka tidak pantas dilihat tubuhnya kecuali ini dan ini dengan menunjukkan wajah dan telapak tangan (sampai pergelangan).”(HR. Abu Dawud)
Untuk proses belajar mengajar, didasarkan pada riwayat Imam Bukhori dari Abi Sadi Al Khudry bahwa para wanita pernah memohon pada Rasulullah untuk relajar secara khusus, dan Rsulullah mengabulkannya.
“Kami telah dikalahkan (kesempatan belajar) oleh kaum lai-laki. Untuk itu berilak kami keempatan belajar disuatu hari (secara khusus)[13]

2.      Hukum Pacaran
Pacaran dalam Islam memang tidak dikenal, karena pacaran tidak terlepas dari empat perbuatan sebagai prosesnya, yaitu:
a.       Pandangan dengan sahwat dan Ladzdzah
b.      Senyum menggoda
c.       Pegangan, Rabaan, Ciuman
d.      Berduaan (Khalwat)
Perbuatan tersebut dikategorikan perbuatan yang mendekati zina, sebagaimana dalam QS. Al Israa’:32
”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”
Abuhurairah ra. berkata Nabi saw: ”Allah telah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, pasti terjadi tidak dapat tidak. Zina mata ialah melihat, zina lidah berkata-kata, dan nafsu ingin sedang kemaluan yang membenarkan pelaksanaannya atau mendustakannya.” (HR. Bukhari-Muslim)[14]
Kalau mendekati zina saja berdosa apalagi berzina, sehingga hukum dari keduanya adalah sama-sama berdosa karena keharamannya.
Namun dalam masa modern saat ini, segalanya sudah bisa disiasati dengan lihai termasuk masalah pacaran untuk kembali mencari ligitmasi agar tidak dianggap dosa, yaitu pacaran dengan model sms, hal ini dalam rangka menghindari dari salah satu empat hal tersebut. Dalam hal ini Allah mengingatkan dalam QS. Al Ahzab: 32

”Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah Perkataan yang baik”
Rasulullah bersabda,
”Jika kamu tidak punya rasa malu maka lakukan apa saja yang kau mau”.[15]
Dari ayat tersebut yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit Ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina. Tentulah hal ini menunjukkan sms dengan perkataan yang menimbulkan syahwat dan ladzdzah adalah haram.

C.    Wanita Diperintahkan Menutup Aurat[16]
Aurat wanita dalam Islam dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki kecuali yang terbiasa terlihat menurut Nabi saw yaitu wajah dan telapak tangan. Oleh karena itu, wanita diwajibkan untuk menutup aurat (berjilbab/berkerudung) dengan tidak menampakkan auratnya. Karena kebanyakan dari wanita saat ini seakan-akan menutup tubuhnya namun sebenarnya telanjang, naudzubillahi min dzalik.
Makna Jilbab menurut tata bahasa (lughawi) dan beberapa istilah para ahli tafsir adalah:
1.      Jilbab adalah pakaian yang luas[17]
2.      Jilbab adalah pakaian dan kerudung[18]
3.      Jilbab adalah Qomis yaitu pakaian tipis yang dipakai dibawah mantel atau pakaian yang meliputi seluruh tubuh wanita atau pakaian yang dipakai diatas pakaian pertama seperti mantel (milhafah)[19]
4.      Menurut Abu Hayyan, jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh wanita[20]
5.      Jilbab adalah pakaian menutupi seluruh tubuh [21]
6.      Jilbab adalah mantel atau pakaian yang dipakai di atas di atas pakaian lain yang diulur sampai kaki [22]
Makna Al-Khimaar (Pakaian Atas) berdasarkan An-Nur: 31 adalah “mengulurkan penutup dari kepala sampai leher dan dada”. Hal ini berrati bahwa makna jilbab secara normative adalah sama dengan meutup aurat wanita (kecuali wajah dan ntapak tangan).
            Terkait dnegan bentuk jilbab, ulama madih berselisih naum masih dapat diratik benang merah yaitu bahwa wanita dan bentuk jilbabnya marus memnuhi persyaratan sebagai berikut:
1.      Jilbab harus diulurkan samapi seluruh kaki. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan kaos kaki, ini berarti bahwa berpakaian itu menutup mata kaki.
2.      Jilbab harus tidak tembus pandang (tipis) dan tidak membentuk tubuh wanita (ketat)
3.      Tidak boleh berparfum yang berlebihan dengan niat supaya baunya bisa manarik laki-laki.
4.      Jilbab tidak boleh menimbulkan sahwat laki-laki.

D.    Wanita dalam Shafar
Sebagian ulama memperbolehkan wanita bermusafir dengan tidak siertai muhrimnya asal dia bersama-sama dengan wanita yang tsiqoh (dapat dipercaya) dan perjalanannya relatif aman. Seperti yang dicontohkan oleh Umar yang menginjinkan istri-istri Nabi berhaji deangan ditemani oleh Isman bin Affan serta Abdurrahman bi  Auf, sedangkan istri-istri Nabi berada dalam tandu.
Menurut Ibnu Taimiyah boleh dua wanita atau lebih untuk melakukan perjalanan. Jika perjalanan melebihi batas satu hari satu malam, maka perjalanan seorang diri dari wanita adalah haram. Sebagaimana hadits Rasulullah,
”Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bermusafir selama sehari semalam kecuali bersama mahromnya”.
Bagi seorang wanita yang sudah menikah harus mendapatkan ijin dari suaminya. Diriwayatkan dari Atho’ dari Ibnu Abbas ketika seorang wanita bertanya tentang hak laki-laki pada istrinya, maka Rasulullah berkata,
”Wanita itu jangan keluar dari rumah kecuali dengan ijin (suaminya). Jika dia melanggar, maka malaikat rahmat dan malaikat pemarah akan melakukannya sampai dia bertaubat dan pulang ke rumahnya”[23]


[1] Yusuf Al Qordlowi,……………………hal.105.
[2] …..lihat Kumpulan Materi Pembinaan Kader Dakwah,editor Khairul Umami,Ujar Sudewo, Cendana 7 Press, 2000, hal.94.
[3]  Lihat QS. Ar Rum:30, An Nisaa’:1, Muhammad :19, Al Ahzab:36, dari ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki kesamaan untuk iman dan taat pada Allah dan RasulNya sebagai wujud fitrah manusia. Manusia yang diciptakan sesuai kondratnya (laki-laki dan perempuan) tidak pantas untuk memilih atau keluar dari kodratnya.
[4]  Lihat QS.Al Baqarah: 184.
[5]  Lihat QS. Ali Imran: 97.
[6]  Lihat QS Al Hujurat:13, An Nahl 97, ayat ini yang seringkali digunakan oleh paham feminisme untuk mensejajarkan laki-laki dan wanita dalam segala (gender). Mereka mencari ligitimasi Islam terhadap teori-teori Barat yang mereka anut. Lihat Mansour Fakih, dkk, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 2000.
[7]  Lihat QS. Al Maidah: 2
[8]  Lihat Mansur Faqih, makalah diskusi “Perkembangan Feminisme danRelevansinya di Indonesia……
[9]  Lihat editor Khairul Umami,Ujar Sudewo, Opcid. Hal. 96
[10] Memandang dengan syarat tidak disertai sahwat dan ladzdzah ini didasarkan pada riwayat Ali ra. Bahwasanya Rasulullah berkata padanya:”Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan yang berikutnya, karena yang pertama untukmu dan yang lain bukan untukmu”.Lihat Opcid.99.
[11] Lihat Fiqh As Sunnah, jilid II, hal 24.
[12] Lihat Opcid, hal.98.
[13] Lihat HR. Bukhari, hal.101.
[14] Lihat H. Salim Bahreisy, Terjemahan Al Lu’lu’ Wal Marjan: Himpunan Hadits shahih yang disepakati oleh Bukhari – Muslim,…..1980, hal.1010.
[15] Lihat Shahihul Jami’, hal.2230
[16] Lihat QS.An Nur: 31, Al Ahzab: 59
[17] Lihat Kamus Al Munjid, dalam editor Khairul Umami,Ujar Sudewo, Opcid. Hal. 100
[18] Lihat Raghib Ishfahany, Kitab Al Mufradat….Opcid.
[19] Lihat Ibrahim Anis,dkk, Mu’jamal Wasith….Opcid.
[20] Lihat Abu Hayyan, Al Bahrul Muhith, Juz VII hal 150
[21] Dr. Muhammad Mahmud Al-Hijary, TAfsir Al-Wadlih, juz 3, hal. 26
[22] Taqyyudin An-Nabany, Nizhomul Ijtima’iy, hal. 66
[23] Ibnu al Jauzi, Ahkamal Nisa’, hal 138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar