PERADABAN
ARAB DAN DAKWAH TAUHID
Oleh.
Akhmad Hasan Saleh
A.
Sejarah Bangsa Arab
Arab
pada mulanya adalah wilayah yang tandus, gersang yang menunjukkan ciri dan
karakter penghuninya dengan pemikiran yang keras dan jahiliyah (berpengetahuan
rendah). Wilayah Arab merupakan wilayah yang di kelilingi oleh peradaban yang
besar di dunia saat itu, sebut saja Romawi, Yunani dan Persia. Walaupun Arab
sebagai kawasan yang di kelilingi peradaban maju, namun karena karakternya yang
keras sebagian penduduknya tidak mengalami kemajuan yang signifikan beberapa
abad lamanya.
Secara geografis Arab di bagi menjadi dua
wilayah yaitu wilayah tengah atau Arab Utara dan wilayah tepi atau Arab Selatan.
Wilayah tengah merupakan daerah pedalaman yang kering, pegunungan, jarang turun
hujan yang berpusat di Najd. Penduduknya adalah pengembara (berpindah-pindah),
sehingga peradabannya pun tidak mengalami kemajuan, karena penduduk disibukkan
untuk mencari penghidupan yang layak. Sedangkan bahasa yang digunakan masih
menggunakan bahasa daerah Hijaz – mirip dengan bahasa Abariya dan Nabatiya
(baca: bahasa kampung). Secara keilmuwan masih sangat rendah (jahiliyah) dan
bukan menjadi prioritas utama, karena kesibukan ekonomi untuk mendapatkan
penghidupan yang layak. Yang termasuk dalam wilayah utara, antara lain adalah,
Mekah, Madinah, Najd. Penduduk Arab utara biasa disebut Nizariyyin atau
Ma’adyyin.
Sedangkan
wilayah selatan adalah wilayah tepi yang dituruni hujan secara teratur,
tanahnya lebih subur, sehingga penduduknya tidak berpindah-pindah (menetap). Secara
keilmuan mereka lebih focus untuk mencari ilmu dan memajukan wilayah. Bahasa
yang digunakan oleh penduduk telah tercampur dengan bahasa Habsyi
(Ethiopia-akhadiyah) atau bahasa kota. Wilayah yang termasuk dalam wilayah
selatan (tepi) yaitu, Hijaz, Hadramaut, Oman, Al Ahsa (Bahrain) dan Mahrah,
bahkan kota yang sangat maju adalah Yaman. Salah satu negeri kaya yang juga
pernah Allah hancurkan di Yaman adalah negeri Saba’. Penduduk Arab Selatan
biasa disebut Yamaniyyin atau Qohtaniyyin.
Untuk
melacak asal-usul orang Arab, secara geneaologis para sejarahwan merunut jauh
ke belakang yaitu pada sosok Nabi Ibrahim dan keturunannya yang merupakan
keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Para sejarahwan juga membagi
orang Arab menjadi Arab Baydah dan Arab Bāqiyah
(Arab al Arabiyah) serta Arab
Mustaribah.[1]
Pertama,
Arab Baydah adalah orang Arab yang
kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah ‘Ad, Thamud, Ṭasm, Jadis, Aṣhab
al-Ras, dan Madyan. Namun yang banyak
dikenal dan diabadikan dalam Al Qur’an adalah kaum ‘Ad, Thamud (Tsamud) dan
Madyan, ini yang akan dibahas selanjutnya. Menurut beberapa ahli tafsir
menyatakan umat Nabi Hud yang hidup 800 tahun setelah Nabi Nuh dan tinggal di
daerah Ahqaf (Hadramaut). Kaum ‘Ad adalah pemuja berhala dengan memberikan nama
berhalanya adalah shamud, shada’ dan haba’. Allah menghancurkan kaum
‘Ad dengan menurunkan badai pasir terus-menerus selama tujuh hari delapan
malam.[2]
Sedangkan
kaum Tsamud hidup di daerah Al Hijr (antara Hijaz dan Syam), kaum Tsamud merupakan
kaum dari Nabi Sholeh yang memiliki peradaban yang maju dalam bidang
arsitektur. Kehancuran kaum Tsamud sebagaimana hancurnya kaum ‘Ad. Karena kaum
Tsamud tidak mau mengikuti perintah Nabi Sholeh, bahkan unta yang menjadi
simbol larangan Allah mereka bunuh tanpa perasaan dosa.[3]
Kaum
Madyan bertempat di sebelah utara Hijaz sebelum Syam. Madyan keturunan Ibrahim
dari Qathura, istri ke dua setelah sepeninggalan sarah. Mereka merupakan kaum
Nabi Syuaib, kebiasaannya melakukan penipuan dalam perdagangan. Mereka juga
dibinasakan oleh Allah karena penolakannya terhadap ketauhidan, lihat dalam al
Qur’an surat Hud: 84; 94-95; 89; Al Hijr : 78-79.
Kedua,
Arab Bāqiyah adalah orang Arab yang
hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qaḥṭān dan Bani ‘Adnān. Bani Qaḥṭān
adalah orang-orang Arab ‘Áribah (orang Arab asli) dan tempat mereka di Jazirah
Arab. Di antara mereka adalah raja-raja Yaman, Munadharah, Ghassan, dan
raja-raja Kindah. Di antara mereka juga ada Azad yang darinya muncul Aus dan
Khazraj. Sedangkan Bani ‘Adnān, mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab
sebagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian utara. Sedangkan
tempat asli mereka adalah Mekah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Isma’il bin
Ibrahim. Salah satu anak Nabi Isma’il yang paling menonjol adalah ‘Adnān. Nabi Muhammad
adalah keturunan ‘Adnān. Dengan demikian beliau adalah keturunan Isma’il.
Menurut Ibnu Hishām (w. 218 H), semua orang Arab adalah keturunan Isma’il dan
Qaḥṭān. Tetapi menurut sebagian orang Yaman, Qaḥṭān adalah keturunan Isma’il
dan Isma’il adalah bapak semua orang Arab.
B.
Agama Pra-Islam
Setelah
agama tauhid yang dibawa para nabi tidak lagi dianut oleh penduduk arab, maka
penduduk mencari tuhan-tuhan baru untuk disembah dan diagungkan, karena
keringnya religiusitas yang sebelumnya telah dibutakan dengan kesibukan dunia
dan peperangan. Akhirnya mereka kembali pada agama nenek moyang dan kepercayaan-kepercayaan
mistis (kekuatan benda), walaupun sebelumnya telah ada agama ketauhidan (Islam)
yang dibawa para Nabi. Kemudian dalam perkembangannya terjadi proses pembiasan
yang mengakibatkan terjadinya pengingkaran prinsip tauhid.[4]
Pada awal abad ke 6 M
atau menjelang Nabi Muhammad dilahirkan dengan membawa risalah Islam merupakan berkembangnya
agama-agama dan kepercayaan secara pesat. Arab telah diliputi dengan berbagai
agama dan aliran kepercayaan nenek moyang yang dihidupkan kembali oleh
generasi-generasinya. Menurut al
Baghdadi menukil Sayyid Mahmud Syukri al Lusi menyatakan bahwa agama-agama yang
pernah ada di Arab sebelum masuknya Islam antara lain al muwahhidun (Pengesaan Tuhan), Watsani (penyembah berhala), Yahudi, Nasrani, Penyembah matahari
dan bulan, Dahriyun (Ateis), Shabi’in (Penyembah Bintang), Zindiq, Majusi (Penyembah Api),
penyembah malaikat dan jin, kelompok yang mempercayai dua Tuhan, yaitu Tuhan
Baik dan Tuhan Jahat.[5]
Selain agama-agama dan kepercayaan
tersebut, ahli sejarah menyatakan bahwa ada salah satu corak beragama yang lain
dari agama-agama pada masa itu yang disebut Ḥanīfīyah,
yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak
terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhalam, juga tidak menganut
agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka
berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Ḥanīfīyah, sebagai aktualisasi
dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab
khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Ṭaif,
dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin Abī al-Ṣalt, Zayd bin ‘Amr bin
Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin Jaḥsh,
Ka’ab bin Lu`ay, ‘Abd al-Muṭallib,
‘As’ad Abū Karb al-Ḥamīrī,
Zuhayr bin Abū Salma, ‘Uthmān bin al-Ḥuwayrith.
Aliran Hanifiyah menolak untuk menyembah berhala, keengganan untuk
berpartisipasi dalam perayaan-perayaan untuk menghormati berhala-berhala,
pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan
penolakan untuk memakan dagingnya, pengharaman riba, pengharaman meminum arak
dan penerapan vonis hukuman bagi peminumnya, pengharaman zina dan penerapan
vonis hukuman bagi pelakunya, berdiam diri di gua hira sebagai ritual ibadah di
bulan ramaḍan dengan
memperbanyak kebajikan dan menjamu orang miskin sepanjang bulan ramaḍan, pemotongan tangan pelaku
pencurian, pengharaman memakan bangkai, darah, dan daging babi, dan larangan
mengubur hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan beban-beban pendidikan
mereka. Tradisi-tradisi tersebut yang kemudian masih dipertahankan oleh Islam,
namun sesungguhnya hukum itu yang telah digunakan oleh para nabi-nabi.[6]
C.
Pencerahan Islam
Dalam perjalanan sejarah, Arab tengah menjadi alur lalu
lintas perdagangan, khususnya mekah dan madinah. Para pedagang menganggap padang pasir dan
pegunungan yang sepi merupakan tempat yang aman untuk menyimpan barang dagangan
mereka, sehingga seringkali para pedagang memmbuat tenda-tenda penginapan di
daerah tersebut. Seiring dengan waktu, Mekkah menjadi peradaban kecil diantara
peradaban-peradaban besar masa itu, karena dijadikan sebagai pertemuan para
pedagang-pedagang Persia
dan Bizantium, yang kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan bangsa Arab.
Yang dulu awalnya tandus, kering, sunyi – telah berubah menjadi daerah yang
ramai dikunjungi oleh pedangan dari penjuru jazirah arab. Peradaban jahiliyah
(tidak berpengetahuan) telah ditinggalkan menjadi perdaban yang tinggi karena
pengaruh dari luar mekah. Namun dengan demikian, tradisi perang, penindasan
masih tidak tinggalkan bahkan semakin berkembang ajaran-ajaran menyembah
berhala, bahkan patung-patung yang mereka sembah yang berjumlah mencapai 360
buah diletakkan di sekitar ka’bah.[7],
Peperangan yang menjadi tradisi perebutan kekuasaan menjadi sangat tidak
beradab, bagi kabilah yang menjadi pemenang maka mereka merampas seluruh
kekayaan termasuk wanita dan anak gadis sebagai al Mal al Ghanimah, pemerkosaan
terjadi dimana-mana, penipuan perdagangan menjadi tradisi masa itu, hal ini
merebak keseluruh jazirah arab. Kondisi social, ekonomi, politik menjadi rapuh
dan tidak bermoral. Zaman ini yang
kemudian dinamakan dengan zaman jahiliyah dalam arti kebodohan dalam bidang
agama dan moral (bukan pengetahuan).
Dalam kondisi arab yang keterpurukan zaman, para kaum hanif
berharap ada seorang yang mampu merubah kondisi kesemrawutan yang terjadi di
jazirah arab. Oleh karena itu, dengan kehadiran sosok Muhammad sangat tepat dan
sangat dinanti-nantikan kaum hanif.
Pada masa kehadiran Islam yang diamanahkan pada nabi pilihan
sebagai pengganti nabi-nabi sebelumnya dan sekaligus sebagai penyempurna
kenabian, telah banyak memberikan pengaruh luas dan perubahan moral, social,
politik yang sangat besar. Bahkan dalam hal kepercayaan dan keagamaan dirombak
secara besar-besaran, sehingga membuat mereka
mengucilkan dan membenci Nabi Muhammad, khususnya penduduk Mekah. Walaupun ada
beberapa tradisi yang tidak ditinggalkan sebagaimana yang telah dipertahankan
kaum hanif.
Dengan datangnya Islam, penduduk semakin beradab dan menjadi
peradaban yang tinggi masa itu, karena penyebaran yang dilakukan oleh nabi
Muhammad dilakukan dengan penuh kesabaran dan strategi. Islam memelihara,
memperbaiki, dan mengembangkan serta menyempurnakan beberapa hal seperti system
moral, tata pergaulan, strategi perang dan aturan perang serta hukum keluarga.
Sedangkan agama dan kepercayaan nenek moyang semakin hari semakin ditinggalkan,
sampai nabi hijrah ke Yastrib (madinah) untuk memenuhi undangan, bukan
semata-mata siksaan kaum Quraisy, akan tetapi guna sebagai pendamai dan
sekaligus atas perintah Allah untuk melakukan hijrah. Dalam perdamaian yang
dilakukan menghasilkan konstitusi tertulis pertama sepanjang sejarah umat
manusia, Piagam Madinah (The Chater of Madinah).[8]
Keagamaan di Madinah setelah perdamaian tersebut berjalan dengan harmonis dan
berkembang pesat hingga keluar kota.
Al Qur’and dan sunnah memberikan perubahan yang nyata bagi bangsa Arab dan
bangsa-bangsa yang memeluk Islam tentang pandangan hidup, tujuan hidup,
peribadatan, dan sebaginya. Hal ini kemudian menjadi bagian utama dari
pemikiran dan peradaban Islam. Ini semua
didukung oleh kreativitas umat Islam sendiri yang memberikan ruang lingkup luas
bagi umatnya. Hal ini berlanjut sampai akhir masa hidup nabi, bahkan
dilanjutkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah (abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali).
Perkembangan pemikiran pada masa khulafaur rasyidin semakin meluas dan
mengalami pasang surut yang disebabkan oleh perubahan dinasti-dinasti dan peta
politik yang berkembang,[9] hingga
menyangkut pada bidang keagamaan, yang kemudian memunculkan interpretasi-interpretasi
baru dalam keagamaan.
[1]
M. Abdul Karim, 2011, Sejarah Pemikiran
dan Peradaban Islam, Bagaskara,
Yogyakarta. hal 50.
[2] Muhammad
Nawawi Al Bantani, 2004, Marah Lubaid Tafsir An Nawawi, Vol I. Beirut:
Dar al Kutub Al Islamiyah. hal 285-286, lihat dalam Kaisar ’08, 2008, Aliran-aliran Teologi Islam, PSA,
Lirboyo.
[3]
Ibid.
[4]
Opcid. hal 59.
[5]
Zainal Arifin Abbas, 1965, Peri Hidup
Muhammad, vol IA, Pustaka Indonesia, medan, lihat dalam opcid. Hal 21
[7]
M. Abdul Karim, 2011, Sejarah Pemikiran
dan Peradaban Islam, Bagaskara,
Yogyakarta.
[8]
Ibid.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, 2003, Islam: Agama,
Sejarah dan Peradaban, Risalah Gusti, Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar